Pages

Sunday 13 March 2011

Pasar Berbahaya di Jakarta

Ze Akan Ditembak!



Pembantaian Koruptor di China



Ia akan mati ditembak!

Ya, perasaan itu bagai bayangan yang menyertai Ze ke mana pun ia pergi. Melekat dibenaknya sejak ia kecil hingga berusia delapan belas tahun kini. Mati ditembak…, Ze tak dapat mengira seperti apa pedihnya? Apakah ia juga akan menggelepar-gelepar sebelum mati, seperti Manuel tetangganya, kala ditikam berkali-kali oleh anggota Besi Merah Putih yang memergokinya minggu lalu itu saat turun dari Hatubute? Atau mungkinkah ia tak sempat mengeluarkan sepatah kata pun seperti Avo pai yang disembelih dan kepalanya digantung pada sebuah galah di dekat rumahnya oleh Fretelin?

Setiap tiba pada halaman 268 dari buku Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan yang ditulis oleh Bilver Singh, Ze akan kembali melihat foto abadi itu. Foto kepala seorang lelaki yang dipancangkan di ujung galah, pada Agustus 1975. Itu Avo pai.

Ze tak pernah tahu wajah Avo pai sebelumnya. Beberapa bulan yang lalu Guru Abdullah memberikan buku tersebut padanya. Suatu hari Ze melihat Amaa memegang buku tebal berwarna biru itu sambil menjerit histeris. Ze langsung memeluk Amaa. Air mata perempuan yang selalu menghabiskan waktu dengan membuat tais itu berderai, jatuh berkejaran, membasahi kaos lusuh yang dikenakan putra tunggalnya. Amaa pingsan. Perlu waktu beberapa jam kemudian sebelum Amaa sadar dan terbata-bata mengatakan semuanya. Lelaki dalam gambar itu memang Avo pai! Dan Ze seperti ditusuk-tusuk oleh senjata tajam yang bernama kenyataan. Jauh lebih dalam dari sebelum-sebelumnya.

“Katakan padaku, Ze! Kau pro kemerdekaan atau pro otonomi?“ tanya Jose, sahabatnya, beberapa waktu setelah Presiden Habibie mengumumkan mengenai kemungkinan referendum. “Mai, Ze, kau berpihak pada siapa?“

Senja itu Ze cuma diam. Sesekali jari-jarinya memegangi rambutnya yang keriting-keriting kecil. Sesaat lagi tangannya sudah mengelupasi kulit bibir tebalnya yang mengering. Matanya memandang ke arah seorang ibu tua penjual jeruk kisar yang berjualan sambil mengunyah sirih, di pinggiran pantai sepanjang Lecidere. Lalu tatapannya berpindah pada para penjaja jagung atau pedagang ikan bakar yang hilir mudik. Indah. Bagi Ze, laut yang membingkai bumi Dili terindah di dunia.

“Ze?“

Ze masih diam. Selama ini Jose Soares adalah temannya yang terdekat. Mereka pernah duduk sebangku di SMU Dili dan mempunyai cita-cita yang sama: jadi pengarang terkenal.

“Apa bedanya aku pro atau tidak pada kelompok-kelompok itu?“ tanya Ze pelan.

“Entahlah. Aku juga tak tahu. Tetapi mungkin saja suatu saat nanti semua itu akan mempengaruhi persahabatan kita,“ kata Jose datar.

Ze berhenti mengelupas bibirnya. Perih. Bau darah. Dipandanginya Jose beberapa saat.

“Oh, obrigado, Jose,“ kata Ze sinis. “Peduli apa dengan semua itu. Aku hanya menginginkan…,“ Ze menengadah, membayangkan patung raksasa Yesus Raja, terse- nyum padanya, “Kebenaran dan keadilan!“ lanjutnya setengah berteriak sambil mengepalkan tangan.

Dan kini, setelah kerusuhan demi kerusuhan mengepung Lorosae, Ze selalu bisa mengenali bau percikan darah dan mesiu pada setiap jalan di kota Dili. Dan ia masih merasakan hal itu: ia akan mati ditembak! Ditembak? Seperti apakah nyerinya?

“Kamu murid yang pintar, Ze. Bapak berat meninggalkanmu. Tetapi, mampukah Bapak menghadapi semuanya lagi?“

Ze tercenung dengan rahang mengeras. Matanya berkaca-kaca dan kerongkongannya tersekat. Guru Abdullah, guru bahasa dan sejarahnya itu, hanyalah satu dari ratusan pendatang yang terintimidasi di sini.

Kasihan, pikir Ze. Guru Abdullah datang jauh-jauh dari Bugis, mengajar tanpa pamrih, namun sejak awal selalu diteror. Guru Abdullah beberapa kali dikeroyok entah oleh siapa. Pernah juga ditusuk oleh seorang murid yang ditegurnya. Istrinya yang ramah hampir diperkosa dan rumah mereka bahkan dibakar. Tuhan, apa yang terjadi di tanah tercinta ini? Ze mendesah dalam resah.

“Kau, Ze, yang membuatku berat meninggalkan tanah ini. Ah, kejar terus cita-citamu, Ze! Kau ingin jadi pengarang terkenal kan? Ingat, kau harus hidup dalam kebenaran! Ya Allah, Ya Rabbi, semoga Dia selalu melindungimu, nak! Jangan lupa, tulis surat buat Bapak, ya....“

Ze mencium tangan Guru Abdullah, menempelkan tangan itu sesaat pada pipinya yang cekung dan mendapatkan lara menyergap dirinya. Ia terisak. Saat sosok itu pergi, Ze tahu ia tak akan pernah mendapatkan guru sebaik itu lagi. Tak akan pernah…pun sampai ia tertembak nanti.

DOR!

Suara itu! Tembakan itu memecah pagi. Ze terkesiap. Perlahan ia melongokkan kepala melewati jendela kayu rumahnya. Puluhan orang berlarian, dan kemudian berkumpul di sebuah titik. Mereka membawa berbagai senjata, meneriakkan kata-kata “Vinceremos!“ Juga menyanyikan lagu Patrio ao Morte! Tak lama Ze melihat puluhan orang lain turun dari atas truk. Mereka mengenakan ikat kepala merah putih, membawa senjata serta berteriak-teriak pula: "Mati hidup untuk integrasi! Mati hidup untuk Merah Putih!"

Dan…Ze ingin menjerit. Lidahnya kaku. Kelu. Orang-orang itu berbaku habaok! Ze merasa anggota-anggota tubuhnya saling menyerang! Mencakar satu sama lain! Ze menggigil. Kepalanya seperti digigit ribuan semut rangrang dan belatung.

“Ze!“ teriak Amaa histeris. “Tutup jendelanya! Cepat!“

Ze diam. Menyaksikan orang-orang rebah ke tanah dengan tubuh bolong dan tercabik. Di mata Ze, darah yang menggenang, menjelma deburan ombak Laut Timor. Ombak merah! Lalu untuk apa patung Yesus Raja yang termegah di dunia ada di Lorosae, bila kasih lenyap dari sini? Gigi-gigi Ze beradu. Hidungnya yang lebar bergerak-gerak.

“Sudah kuduga, kampanye akan rusuh!“ Amaa yang tampak sepuluh tahun lebih tua dari empat puluh tahun usianya itu tergesa-gesa menutup jendela kayu dan mengunci pintu. “Kita harus mengungsi, Ze. Mungkin ke Atambua. Orang-orang bilang besok atau lusa ada truk tentara yang bisa mengangkut kita!“

DOR!

Ze tersentak lagi.

“Jangan ke mana-mana? Kau dengar, Ze? Aku tak ingin kau seperti Apaa-mu yang hilang begitu saja,“ suara Amaa bergetar.

Ze menelan ludah. Tenggorokannya perih. Apaa, kira-kira di mana lelaki itu sekarang? Pada suatu hari, saat usianya sepuluh tahun, Apaa pamit. Katanya akan menawarkan udang-udang karang yang dihiasnya kepada seorang temannya di kota. Dan lelaki yang punya banyak sahabat itu tak pernah kembali hingga kini.

“Ia pasti diculik Falintil!“

“Tidak! Kurasa ia diculik orang-orang pro integrasi!“

“Aa, mungkin ia sudah ditembak ABRI!“

Suara-suara itu seakan menggema kembali di telinga Ze. Suara orang-orang yang memandangnya iba, saat usianya baru sepuluh tahun. Dan sejak saat itu pula Ze kerap melihat Amaa membuat tais sambil menangis.

Waktu merangkak lambat. Kegaduhan di luar mulai reda. Amaa terduduk di ujung ruangan. Mulutnya komat-komit. Ze beranjak perlahan dan mengintip dari celah-celah jendela kayu yang rapuh. Semua bagai mati. Hanya ceceran darah segar dan asap sisa-sisa pembakaran yang mengepul hidup.
***

“Ze, siapa pun yang menang, kita harus mengungsi ke Atambua,“ suara Amaa lirih.

Ze masih memutar-mutar gelombang radio kecil tua di tangannya. Pagi ini hasil jajak pendapat diumumkan. Didekatinya lagi radio itu ke telinganya. Terlalu berisik. Ia tak dapat mendengar apa pun.

“Merdeka! Merdeka!“

“Ini kemenangan rakyat Maubere!“

“Hidup Xanana dan Ramos Horta!“

“Viva CNRT!“

“Hidup Uskup Bello!“

Suara-suara itu terdengar dari jalanan di depan rumahnya. Ze bangkit dari duduk dan membuka pintu. Ia melihat iring-iringan kendaraan dan para pejalan kaki mengacung-acungkan jari membentuk huruf V. Vinceremos! Timor-Timur sudah tak lagi menjadi propinsi Indonesia!

“Kita harus mengungsi!“ kata Amaa lagi, sambil memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper kecil. Tak sedikitpun kegembiraan tampak pada wajahnya. “Kau tahu, Ze, harusnya Lorosae dibelah dua! Sebentar lagi pasti terjadi keributan. Dan aku tak ingin melihat darah tumpah di tanah kelahiranku ini.“

Ze menarik napas panjang. Sama seperti Amaa, ia tak tahu harus gembira atau sedih. Ia hanya merasakan sesuatu yang tak enak menyelusup dalam sanubarinya. Sungguh, seperti yang dikatakannya pada Jose, ia tak peduli semua itu! Ia, juga orang seperti Amaa dan Apaa hanya menginginkan kebenaran, keadilan dan kedamaian. Bukan perpecahan, kepedihan atau kekacauan. Lalu kalau sudah begini, bagaimana dengan saudara-saudara yang pro-otonomi?

Ze memang kecewa pada Indonesia. Kadangkala perasaan itu demikian membuncah dalam dadanya. Ia akui, Indonesia sudah berbuat banyak untuk Lorosae. Timor-Timur bahkan terkesan menjadi anak emas di antara propinsi lainnya. Pembangunan di sini juga pesat. Tetapi…, mengapa militer ada di mana-mana? Dan dengan alasan memerangi gerakan separatis mereka tak jarang membunuhi orang-orang yang tak bersalah. Ze juga sering mendengar orang-orang yang ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Padahal kesalahan mereka tak jelas. Hal lain yang mengecewakan Ze, korupsi merajalela di mana-mana. Yang paling menyakitkan itu tak hanya dilakukan oleh orang-orang Jakarta, tetapi juga orang-orang Timtim! Andai saja Indonesia lebih adil sejak dahulu. Dan Ze melihat secercah harapan itu saat didengungkannya reformasi dan otonomi luas! Mengapa tidak? Bukankah banyak teman-teman Ze yang merasa Indonesia adalah denyut nadinya? Jadi, mai, buka lembaran baru!

Namun Ze pun tak benci pada mereka yang menginginkan kemerdekaan, meski ia sendiri tak pernah merasa dijajah. Sejarah Lorosae memang berbeda dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Dan mereka yang menginginkan merdeka berharap dapat hidup lebih baik bila lepas dari Indonesia.

Amaa benar. Seharusnya Lorosae dibelah dua!

Ze memandang Amaa dengan mata berkabut. Perempuan itu sedang memasukkan bungkusan berisi selapan segan ke dalam sebuah kardus kecil. Ah, bagaimana? Bagaimana perasaan perempuan itu bila suatu saat anaknya… mati tertembak? Sungguh, Ze tak dapat membayangkannya!
***

“Mana? Mana truk-truk itu?“ suara Amaa, dua hari kemudian. “Katanya truk-truk itu akan lewat jalan ini…?“

“Haruskah kita pergi, Amaa?“ pelan sekali tanya Ze.

“Tentu saja. Sebentar lagi akan terjadi perang saudara! Aku sudah mendengar hal itu seminggu yang lalu. Kau tahu, Ze, siapa pun bisa menjadi korban. Berpihak atau tidak, kita akan mati bila terus di sini!“

“Aku mencintai tanah ini, semua saudaraku bangsa Timor dan Indonesia!“ suara Ze menggelegar.

Amaa memandangnya aneh.

Lalu tiba-tiba saja Ze berlari keluar rumah. Dicobanya menahan deburan nyeri dalam hatinya. Gagal. Ia terus berlari ke jalan…terus berlari.

“Ze! Ze!“ teriak Amaa. “Fila, Ze!“

“Jangan pergi dulu, Amaa! Aku akan temui orang-orang itu! Jangan pergi dulu!“

Ze terus berlari, hingga suara Amaa yang serak tak lagi didengarnya. Berlari dan terus berlari mendekap nyeri. Di jalan dilihatnya orang-orang tertawa dan menari-nari. Di tempat yang lain, dilihatnya orang-orang menangis dan meraung. Beberapa di antara mereka berlari-lari tanpa arah seperti dirinya.

Ze mempercepat larinya. Ia melihat orang-orang mulai berkelahi. Bentrokan antara orang-orang pro kemerdekaan dan pro integrasi terjadi di mana-mana! Anak-anak dan wanita menjerit ketakutan. Bebatuan melayang di udara. Ze gemetar melihat darah bercipratan di mana-mana. Suara denting senjata tajam, juga tembakan terdengar di udara. Asap membubung tinggi! Rumah-rumah dan mobil-mobil terbakar! Lalu barisan pengungsian mulai terlihat di mana-mana. Anak-anak, bahkan bayi dan perempuan hamil, orang-orangtua…, Ze makin sesak, tetapi ia terus berlari.

“Ami tauk…, ami tauk...“

Ze ternganga. Dihadapannya tampak seorang bocah tiga tahunan menangis. Ze menghampiri. Miris. Bocah manis itu mendekap boneka kumalnya, kian erat. Tangisnya tak juga reda. Sementara di sebelahnya tampak mayat-mayat bergelimpangan.
Mata Ze basah. Digendongnya gadis kecil itu. Dipeluknya kuat-kuat. Bocah itu tertidur karena lelah, saat Ze memberikannya pada seseorang yang baik hati, di barisan pengungsi yang menuju Atambua.

Ze mual. Mual dengan segala kekejaman dan penderitaan. Ia muntah beberapakali. Matanya memerah. Bengkak. Jalan Ze mulai sempoyongan. Ze merasa sebentar lagi kepalanya pecah!

Biar saja semua orang menganggapnya gila: Ia harus bertemu Koffi Annan! Sekjen PBB itu tidak boleh disetir sana sini! Harusnya ia bijak dan membagi dua Lorosae! Baik, pro-kemerdekaan menang. Itu harus diakui! Mereka boleh ambil 70% tanah ini! Tetapi berikan yang 30% pada saudara-saudara pro-otonomi! Ah, bagaima- na mungkin Amaa bisa lebih bijak dari UNAMET yang terkesan memihak serta sekjen PBB itu? Ze merasa ia juga harus bertemu dengan Uskup Bello, Xanana Gusmao, Tavares dan Eurico Guteres!
Tetapi siapakah kamu, Ze? Kamu bukan siapa siapa! Hanya bocah kampung berumur delapan belas tahun! Apa orang-orang itu mau mendengarkanmu? Ze menggigit bibirnya. Bukankah aku putra Lorosae sejati? Aku berhak bicara! Apalagi untuk kebenaran dan keadilan.

Ze mencoba berlari lagi, namun langkahnya kini tertatih-tatih. Kakinya pegal dan luka, sepatunya jebol. Akhirnya ia tersungkur letih di bawah sebuah pohon, entah di mana. Hari semakin senja. Napas Ze tersengal-sengal. Sesaknya menjadi-jadi. Sayup-sayup didengarnya suara genderang ditabuh. Para pahlawan melintas, menyanyikan mars-mars perjuangan di sepanjang jalan yang semakin lengang. Ze membelalakkan matanya. Bayangan dan suara itu sirna.
***

Beberapa minggu kemudian, pada sebuah jalan di kota Dili…, seorang pemuda dikeroroyok sekumpulan pemuda lainnya.

“Siapa dia?“

“Milisi!“

“Tak tahu!“

"Siapa?“

“Aitarak!“

“Mata-mata?“

Bertubi-tubi pukulan melayang dan mendarat di wajah si pemuda.

Tak lama sepasukan tentara kulit putih tiba. INTERFET. Dengan pongah mereka menyeruak kerumunan tersebut. Si pemuda ditendang hingga terjengkang beberapa kali.

“Who are you?“ bentak mereka kasar. Wajah-wajah bengis menatap pemuda yang tubuhnya penuh luka itu. “What did you do?“

“Saya cuma ingin bicara. Ta… nah ini… harus dibagi… dua…, saya tak memihak siapa pun. Ini demi keadilan....“

Sebuah jab mendarat kembali, kali ini di kepala pemuda itu. Dengan kasar kemudian tentara-tentara berkulit putih itu menggelandangnya ke sebuah pohon besar. Beberapa pemuda hitam, berambut keriting-keriting kecil, diantaranya membawa bendera CNRT mengejar dan terus memukuli pemuda itu.

“Hentikan! Hentikan! Oh, Yesus Raja! Itu Ze!“

Dalam nanar, Ze melihat Jose Soares memandangnya tak percaya. “Jose, saudaraku.…“

“Ze!“

"Pukul!“

“Habaok!“

“Tembak!“

“Tidak, itu Ze!“ teriak Jose. “Jangan!“

“Buat apa dia kemari?“

“Dia milisi!“

“Mata-mata!“

“Bukan! Bukan!“ suara Jose lagi. “Dia orang baik! Dia tak memihak siapa pun! Aku mengenalnya!“

Tetapi suara Jose lenyap ditelan berbagai makian dan pukulan, juga langkah para tentara kulit putih yang menyeret Ze seperti menyeret binatang ternak.

“Mana… Koffi Anan?!“ teriak Ze. “Tanah ini harus dibagi… dua…,“ Ze mencoba bangkit. Dikerahkannya tenaganya. “Aku hanya ingin bicara…, biarkan aku menemui mereka….!“ Ze mendorong tentara yang berada didekatnya dan.…

DOR!

Ze merasa seseorang ditembak, namun ia mencoba terus berlari. Ia harus menemui Xanana, Horta dan Bello. Juga Tavares dan Guteres…, ia harus….

DOR!

Ze rebah ke tanah. Ia melihat Amaa dan Apaa menangis. Ia melihat kepala Avo Pai yang melayang-layang di udara, menatapnya penuh haru. Ia mendengar lagi suara Guru Abdullah: Ze, kau harus hidup dalam kebenaran.

Ze mengerang. Matanya basah. Ternyata cuma seperti ini rasanya ditembak. Tidak terlalu sakit, seperti yang selalu dibayangkannya.

Samar, Ze masih dapat melihat wajah sinis dan beringas para tentara kulit putih yang menghampirinya, sambil menghunus senjata. Tahu apa mereka? Ze menyeringai. Tahu apa Australia itu? “Human right…,“ Ze terbatuk-batuk. “Go to hell…!“ Dalam posisi terlentang, Ze mencoba menendang seorang tentara itu.…

DOR!

Darah muncrat.

Pada saat-saat terakhir, Ze merasa Lorosae mendekapnya begitu erat. Ia merasa nyaman. Sangat nyaman. Ze ingin tersenyum, namun ia hanya mampu membelalakkan matanya pada orang-orang itu.

:Aku Ze. Akulah Lorosae!
***


(HTR, Cipayung, 1998)

Daftar Istilah:
avo pai : kakek
amaa : ibu
apaa : ayah
tais : tenun ikat
vinceremos : kemenangan
patrio ao morte: merdeka atau mati, lagu orang-orang pro kemerdekaan
obrigado : terimakasih
Lorosae : tempat matahari terbit, sebutan untuk Timor-Timur.
selapan segan: jagung tumbuk, biasanya merupakan cadangan makanan terakhir
fila : pulang
mai : ayo
aitarak : duri, salah satu barisan pro integrasi

By. Helvy Tiana Rosa

Kaimana, Eksotisme Alam Bahari

Kan ku ingat selalu/ Kan kukenang selalu/ Senja indah/ Senja di Kaimana/Seiring surya/ Meredupkan sinar/ Dikau datang/ Ke hati berdebar..






Bukan tanpa alasan jika tahun 1960-an Alfian meromantiskan panorama Kaimana seperti penggalan lagu di atas. Keindahan alam bahari di bagian selatan Provinsi Papua Barat itu memang tak terbantahkan.
Keeksotisan Kaimana terbentang dari Pulau Venu di barat daya Kaimana hingga Teluk Triton di tenggara Kaimana.

Kaimana didiami komunitas yang beragam. Pendatang asal Pulau Jawa, Buton, Seram, dan peranakan China hidup rukun dengan warga asli yang terdiri atas delapan suku, yakni Mairasi, Koiwai, Irarutu, Madewana, Miereh, Kuripasai, Oboran, dan Kuri.

Kaimana yang luasnya 18.500 kilometer persegi dan didiami 42.488 jiwa penduduk menjanjikan beragam obyek wisata, yakni wisata alam, budaya, dansejarah.

Bagi yang gemar menyelam, Selat Namatota dan Selat Iris di selatan Teluk Triton siap menyambut dengan segala pesona keindahan alam bawah laut. Di kedalaman 30 meter dari permukaan laut, Anda bisa menjelajah keasrian terumbu karang dan bercengkerama dengan aneka jenis satwa laut. kompas.com

Terseret Tsunami 15 Km ke Tengah Laut, Pria Jepang Selamat

Tokyo - Hiromitsu Shinkawa (60), warga Kota Minamisoma, Prefektur Miyagi, ditemukan selamat setelah terseret tsunami 15 km ke tengah laut bersama rumahnya. Shinkawa ditemukan terapung di atas puing atap rumahnya.

Shinkawa ditemukan Pasukan Khusus Maritim mengapung di perairan Prefektur Fukushima, dua hari setelah tsunami terjadi. Demikian dilansir AFP mengutip Jiji Press, Minggu (13/3/2011).

Shinkawa ditemukan dalam keadaan "baik" setelah dia diselamatkan pada hari ini sekitar pukul 10.40 WIB, dan langsung diangkut ke rumah sakit dengan helikopter.

"Saya berlari ketika mengetahui tsunami akan datang. Tetapi saya berbalik ke rumah untuk mengambil sesuatu lalu saya terseret (tsunami). Saya diselamatkan ketika saya sedang bergantung di atap rumah saya," jelas Shinkawa. Kota Minamisoma sendiri ludes karena dihanyutkan tsunami. detik.com

Nenek Sedih


Ampuun... deh! Seorang Nenek dihukum 1 tahun 5 bulan karena mengambil tiga buah kakao. Dia tidak tahu kalau itu perbuatan Mencuri. Betapa cepat hukum menyiksa orang kecil. Otak apa yang ada di Jaksa Penuntut sehingga ayat-ayat hukum ditafsirkan secara literer dan lebih tinggi dari rasa keadilan. Ketika rasa keadilan dilangkahi oleh penafsiran hukum, maka rasa keadilan-lah yang harus dimenangkan. Inilah tololnya aparat hukum negeri kita. Hukum hanya pantas ditegakkan dan menjadi wajah keji bagi rakyat kecil yang tidak punya uang.

Puisi

YANG TERHORMAT RAKYAT

Yang terhormat rakyat
dan bukan nama saya
Sebab yang ter bagimu
adalah kerja dan kerja
Tentu saja rakyat tak
tahu apa itu KKN

Karjo pedagang asongan
bertanya tentang kolusi
Sarmi buruh gendong
bertanya soal nepotisme
Kasno bahkan tak tahu
apa itu korupsi

Mereka para buruh tani
nelayan, pedagang kaki lima
Mereka yang setiap hari
menyaksikan televisi
Mereka yang termangu
melihat pesta demokrasi

Yang terhormat rakyat
dan bukan duli tuanku
Sebab rakyat tak tahu
apa itu KKN, sementara
Kalian berteriak melawan
sambil mempraktekkannya

Ya, mencuri uang rakyat
disebut korupsi
Menyuruh curi uang rakyat
disebut kolusi
Membagi curian uang rakyat
disebut nepotisme

Yang terhormat rakyat
dan bukan kalian pun
Sebab rakyat adalah rakyat
jutaan tangan yang bekerja
Dan kalian yang berdasi
memeras keringat dan darahnya

Eko Tunas
4, 1999, juli

Menunggu Adzan

 
YERUSALEM, INILAH kota yang dijanjikan itu. Betapa aku mencintai kota ini….

Kota yang sibuk dan padat pengunjung. Di seputar Dinding Ratapan, tampak beberapa pria kulit hitam mengenakan topi hitam bercaping lebar, mantel lebar berikut celana panjang berwarna senada. Di depannya ada meja setinggi pinggang, penuh dengan buku-buku dan selebaran bertulis bahasa Ibrani.

“Shalom!” sapanya dalam bahasa Ibrani pula.

Aku menggeleng. Karenanya, sapaan lelaki hitam itu tak berlanjut. Lantas, aku kembali berjalan. Sapaan tadi secara eksplisit menanyakan apakah aku akan melakukan sembahyang. Sebagai seorang falashas, imigran Yahudi dari Ethiopia, aku tahu betul bahwa jika aku mengangguk, maka laki-laki itu akan memberi layanan gratis mengenai sejumlah doa dan brosur petunjuk yang diambil dari Kitab Torah.

Aku menggeleng, sekadar untuk menghindari layanan cuma-cuma itu. Sekarang aku hanya ingin berjalan-jalan sembari menunggu adzan (Abu Hasan, teman karib mendiang Shameer, adikku, mengatakan akan menemuiku di depan gerbang Al Aqsha ini saat adzan) sambil merenungi jejak perjalanan yang telah menguras air mata orang-orang Yahudi Ethiopia. Tapi, jika pun tidak demikian, aku bisa memastikan aku akan menjawab dengan gelengan yang sama memberitakan keenggananku untuk sembahyang. (Apakah aku masih Yahudi?) . Keengganan yang bersumber dari rasa gamang, atau mungkin keraguan. Aku sedang menunggu adzan….

Beginikah rupa tanah yang dijanjikan itu?

Kuat kucoba menepis ragu. Sebab, rasa ini mungkin hanya berasal dari relung luka akibat perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami para aliya begitu menginjak tanah impian.

Aku masih sangat kecil ketika itu, hanya melihat cakrawala dari dekapan tangan Ibu. Panik wajahnya, dan aku sibuk mengisap air susu. Lantas, kurasakan tangan itu lama-lama kaku, mendekapku dalam dingin udara Sudan yang tak bersahabat pada para pejalan. Ayah membuka dekapan itu dengan air mata meleleh, menyadari si wanita tak lagi mampu membuka pelukan, juga menghela napas sebagai jendela bagi nyawanya. Ia telah mati, bersama ribuan orang yang mati.

Aku tidak membaca selain kesedihan. Bahkan, kata pun tak kupahami apa artinya. Aku masih sangat kecil. Belum genap dua tahun saat Operasi Musa dimulai. (Setelah dewasa, aku baru mengetahui bahwa dengan nama ini proses migrasi Yahudi Ethiopia itu dinamai.) Awal era delapan puluhan. Gelombang besar yang menurut ayahku berjumlah lebih dari 55.000 orang, menempuh perjalanan panjang bertahun-tahun dalam lilitan lapar dan hawa dingin, untuk mencapai Erets Yisrael. Perjalanan itu dilanjutkan dengan Operasi Sulaiman empat tahun kemudian, yang diikuti oleh jumlah aliya yang tak kalah banyaknya.

“Kita adalah orang-orang Yahudi yang sesungguhnya paling tinggi menebus harga menjadi aliya,” papar ayahku yang hingga menutup usianya beberapa tahun lalu, masih menjadi saksi dari derita paling perih nan menyamai tragedi holokaus. Sejarah kelam itu tercatat nyata pada matanya, juga pada tubuhnya yang didiami berbagai penyakit, bekas perjalanan panjang yang mempersingkat usia. Perjalanan menuju mati.

Harga yang mahal. Ibuku, bersama 4.000 orang lainnya meninggal si Amrakuva, kamp transit terbesar di Sudan. Keadaan Falashas saat itu sungguh mengenaskan; minim pakaian dan makanan, diterpa cuaca gurun yang mengerikan di mana siangnya terik membakar, dan malamnya udara dingin menggigit. Semua itu disertai harapan memperoleh penghidupan di tanah Kanaan, dan harkat yang lebih layak hidup di antara sesama saudaranya yang telah mengecap hidup di bumi warisan para anak Israel.

Tapi, apakah yang kami dapati, setelah darah dikuras dari orang-orang Ethiopia?

Yahudi Ethiopia adalah orang-orang yang keras memegang tradisi Yudaisme dalam desakan untuk berpindah agama. Mereka memiliki kekuatan yang berlipat dari kulit hitam berikut tubuh kurus tak berdaging akibat deraan kurang pangan yang melanda Afrika masa itu. Tak mengenal takut, gurun telah mereka tantang demi kembali ‘pulang’ pada tanah yang dijanjikan ini. Cinta mereka kepada Yerusalem… melebihi aliran darah dan denyut nadi. Cinta itu tetap berdetak dan mengalir kendati telah banyak yang mati.

Walaupun… di negeri warisan ini, mereka memperoleh perlakuan tak manusiawi dan diskriminasi.

“Kalian bangsa primitif,” sembur seorang kawan di sinagog, saat aku berusia belasan.

“Tapi aku Yahudi, sama sepertimu,” cetusku meradang. Kebanggaan sebagai Yahudi yang paling banyak membayar tebusan aliya—sebagaimana Ayah selalu membanggakannya—membuat ada perasaan terluka telah dipandang sebagai warga kelas dua dari seluruh tatanan masyarakat Yahudi.

“Kalian tidak berpendidikan. Kalian hanya memiliki kebanggaan sebagai Yahudi, tanpa memiliki catatan sejarah yang pantas dikenang. Kalian seperti bangsa primitif yang terdampar dalam peradaban modern.”

Sentimen rasial bisa saja ditutupi oleh pemerintah Israel, namun budaya semacam ini tidak bisa dihilangkan dari orang-orangnya. Aku telah merasakannya sendiri, menyaksikannya menyatu dengan rotasi hidup di Israel. Menghapusnya tak semudah membuat undang-undang yang tertera dalam kodifikasi hukum negara. Nyatanya, diskriminasi rasial masih dirasakan oleh orang-orang Falashas hingga seperempat keberadaannya di negeri ini. Mereka berpikir bisa menutupi sentimen rasial itu dengan mengirim orang-orang Falashas ke sekolah-sekolah; dan kemudian aku mengetahui bahwa sekolah-sekolah tujuan itu sengaja dipilihkan dari yang tidak bermutu.

Lantas, bersumber dari mana gerangan pandangan mata sinis dan meremehkan terhadap orang-orang kulit hitam ini (yang karenanya, Shameer mati) jika bukan dari sikap mental rendah dan ego yang tinggi?

Adikku, Shameer, bunuh diri tahun lalu karena penghinaan menyakitkan di depan teman-teman kuliahnya. Usianya baru menapak dua puluh, terlalu muda untuk mati. Tapi, terus-menerus dipandang sebagai bangsa primitif yang menumpang hidup pada ‘keberadaban’ Yahudi kulit putih begitu meninggalkan rasa tidak nyaman di hatinya. Mereka mengkalim secara sepihak bahwa mereka lebih beradab dari warna kulit yang lain.

Hinaan yang menimpa adikku, aku tak tahu pasti seberapa dalamnya. Terakhir kudengar, ia jatuh cinta pada seorang Yahudi Ashkenazi, Yahudi percampuran Eropa dan Amerika. Gadis itu sungguh tidak pernah belajar tentang menghargai perasaan. Ia tak memiliki cara menolak cinta selain dengan mencerca dan menghina habis-habisan. Beberapa bulan sebelumnya, Shameer melamar pekerjaan di sebuah kantor dagang milik Yahudi. Dan, bisa diduga, lamaran itu telah ditolak di depan gerbang; tak ada tempat untuk orang Ethiopia.

Mungkin Shameer lupa mewarisi tekad yang dimiliki orang-orang Falashas. Mungkin ia lupa bahwa Musa pernah terkatung-katung empat puluh tahun lamanya di Gurun Sinai setelah lepas dari pengejaran Fir’aun di Reed Sea [berabad-abad berikutnya, kata ini diterjemahkan secara salah kaprah sebagai Laut Merah.] Jika Shameer memahami keterasingan sebagai bagian paling integral dari keimanan Yahudi, seharusnya ia tidak mengambil jalan paling bodoh; menenggak obat pembasmi serangga. (Atau jangan-jangan benar yang dikatakan Abu Hasan, Shameer tidak bunuh diri.)

Sedihku… sedih yang entah harus kubahasakan dengan apa. Sebab, menangis tak akan bisa menghidupkan Shameer kembali.
***

TELAH LAMA aku meragui kebenaran. Sejak memulai perjalanan….

Tapi, bukankah perjalanan dan keterasingan adalah pilar keimanan yang begitu kuat? Musa membimbing bangsa Yahudi menjengkali Sinai dalam keterasingan bertahun-tahun. Sang Mesias Kristiani menempuh perjalanan luka dengan memanggul salib mendaki Golgota. Dan Muhammad (entah kenapa hatiku bergetar menyebutnya) meninggalkan Mekah menuju Yatsrib, kota yang dijanjikan [atau menjanjikan.]

“Islam berpijak pada ajaran yang realistis, David,” kata Shameer, beberapa saat sebelum ia kutemukan meregang nyawa.

“Jangan bodoh!” bentakku saat itu, khawatir ia menodai keagungan Yahweh.

“Adakah yang lebih realistis dari kesetaraan dalam mengabdi?”

Kutelusuri makna kata itu. Pada kubah Al Quds yang menggaungkan dengung adzan. Mereka tidak membagi derajat peribadahan dalam kelas-kelas mana pun, karena mereka secara bersama bisa mencapai tempat-tempat tertinggi, pangkat-pangkat yang disematkan sebagai orang shalih. Karena orang-orang mulia mereka tidaklah disyaratkan dari keturunan rasul atau orang-orang tua yang shalih. Tidak pula pada tingkat pendidikan, harta benda, atau strata golongan. Pun adanya dengan warna kulit.

“Apakah kau ingin menjadi muslim?” tanyaku tak suka.

Shameer hanya tertawa. Tawa ampang.

“Bukankah Bilal juga berasal dari Ethiopia?” katanya. “Ia berasal dari negeri kita, David. Dan kau tahu, maqam apa yang telah ia tempati? Bahkan Muhammad meradang saat sahabat dekatnya menghina Bilal dengan sebutan ‘budak hitam’. Muhammad tidak pernah menghina kulit apa pun dari orang-orang yang mengikuti risalahnya. Bahkan, budak hitam sepertinya diizinkan memanjat puncak Ka’bah untuk menyeru shalat. Kakinya menginjak tempat mulia itu, lebih tinggi dari para pewaris rumah suci.”

“Apakah kau ingin menjadi muslim?” ulang tanyaku.

“Istri Bilal bahkan bukan dari golongan kulit hitam, David. Kau harus tahu itu.”

“Kau terjebak pula dalam pemahaman rasis. Kau terlalu terobsesi dan terprovokasi oleh rasa tertarikmu pada Miriam, gadis Ashkenazi itu.”

“Kaupikir begitu? Jika ini dibilang pemberontakan, David, pemberontakan atas nama kesetaraan. Kita lebih berhak berbangga sebagai aliya dengan keteguhan yang hanya dimiliki orang-orang Ethiopia pada Operasi Musa dan Sulaiman, daripada para kulit putih yang hanya mengagung-agungkan keistimewaan warna kulit dan ritus masa silam yang berkait dengan sejarah Zion, tanpa adanya bentuk ‘perjuangan habis-habisan’. Seperti suatu isyarat bahwa keimanan mereka belum teruji. Kitalah orang-orang yang telah menempuh ujian, lulus sebagai juara. Tapi, apa yang kita peroleh di ‘negeri kita’ ini? Kita menjadi pengemis di rumah kita sendiri, menjadi budak dari saudara-saudara kita sendiri.”

“Keterasingan adalah ruh dari keimanan.”

“Tidak. Yang kurasakan adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan.”

“Cintamu pada Miriam?”

“Ya, dan kepada semua Yahudi. Kita selalu menganggap mereka sebagai saudara, mencintainya dengan kecintaan yang bersumber pada Musa dan Ibrahim. Tapi, sayang… mereka tak pernah mencintai kita. Karena, kita berkulit hitam. Walaupun menjadi kulit hitam bukan proses tawar-menawar dengan Tuhan, bukan pula sesuatu yang bisa atau tidak bisa kita usahakan, melainkan sebuah suratan dan kodrat, tapi tetap saja karena itulah kita diperlakukan berbeda.”

Sepertiku, Shameer berkulit hitam. Dalam perjalanan mencapai Erets Yisrael sepeninggal ibuku, ayahku menikah lagi dengan gadis Ethiopia, sesama aliya. Darinya, dua tahun kemudian, lahirlah Shameer, persis saat Operasi Musa berakhir dengan lebih 10% dari ‘peserta’nya meninggal dalam perjalanan.

“Mengapa saat itu pemerintah Israel tidak membantu para aliya yang terkatung-katung di perbatasan Sudan, seperti Musa di Gurun Sinai, dan menghadapi murka alam?” hujat Shameer. “Mereka seperti membiarkan para aliya berikut konsekuensi perjalanan menantang maut yang mereka pilih sendiri.”

Mengenang luka Operasi Musa seperti menguak luka dalam hatiku.

“Kaupikir, kau percaya alasan saudara-saudara kita atas pertolongan setengah hati mereka saat itu, bahwa pemerintah Israel sedang menghadapi problem dalam negeri seperti inflasi akut pasca-penyerbuan Libanon pada 1982?”

“Bukankah benar karena itu?”

Shameer tertawa. “Alangkah baik hatinya kau. David sayang, jika kau telah dewasa kala itu, kau akan menyadari bahwa kau tidak akan mendapat perlakuan semacam itu jika kau bukan dari kulit hitam.”

“Diamlah, Shameer! Terimalah keterasingan sebagai bagian dari keimanan.”

“Apakah kau mengatakan demikian pula untuk para chalayim bodedim?”

Aku tak bisa menjawab hujatan Shameer kali ini. Karena, apa yang ia tanyakan sebenarnya telah lama mengusik hatiku. Chalayim bodedim, prajurit sebatang kara, demikian sebutan bagi orang-orang Yahudi Amerika [berkulit putih] yang melakukan ‘aliya’ ke Israel. Mereka datang bukan untuk menetap. Mereka berdinas sementara, untuk kemudian pulang kembali ke negeri asal mereka. Tapi, mereka selalu menempati tempat-tempat tinggi dan bergengsi dalam struktur Israeli Defence Force (IDF), angkatan bersenjata Israel.

Mereka, sebagai warga kelas satu, mendulang perhargaan, gaji dan tunjangan dua kali lipat dari tentara Israel lainnya. Sementara, orang-orang Falashas hanya dipandang sebagai anak bawang. Lebih tepat sebutan sebatangkara itu untuk orang-orang kulit hitam yang berjalan gontai sendiri, dan baru berbinar matanya jika bertemu sesama warna kulit, sebab dari merekalah benar-benar rasa ‘penerimaan’ itu dihadiahkan dengan mewah. Sementara dari sesama Yahudi, mereka hanya mendapat semburan atau pemanis bibir, jika secara kebetulan mereka ‘dianugerahi’ sikap manis.

Chalayim bodedim itu orang asing di sini, Shameer,” jawabku berapologi, namun sebenarnya bertentangan dengan pikiranku sendiri. “Mereka memiliki motivasi yang besar, sehingga mereka meninggalkan keluarganya, menuju negeri ini tanpa adanya sanak famili.”

“Masih kurang besarkah tekad para Falashas? Dan lagi, kita sebatangkara di sini, David, sama seperti mereka! Jangan hibur aku dengan hiburan kosong semacam ini.”

“Kita memang terasing,” potongku kembali mengingatkannya pada pilar suci keimanan yang diajarkan Musa.

“Terasing yang seperti apakah? Muhammad pergi ke Yatsrib dan di sana ia tidak dipandang sebagai masyarakat kelas dua. Muslim Yatsrib memeluk mereka dalam persaudaraan dan persamaan harkat.”

“Muhammad lagi! Kau terprovokasi orang-orang muslim.”

Shameer kembali tertawa.
***

AKU MENCINTAI kota ini….

Bukankah cinta itu yang telah membawa puluhan, bahkan ratusan ribu Yahudi Ethiopia meninggalkan negerinya, memenuhi panggilan suci Torah agar membentuk negara Israel Raya?

Aku masih berjalan di sekitar Dinding Ratapan (orang-orang Yahudi menyentuh dinding itu dan banyak yang berusaha mencongkel kerikil kecil dari tempat yang diyakini sebagai bagian yang tersisa dari Kuil Suci, candi Sulaiman) dan sesekali harus menggeleng atas tawaran ‘shalom’ beberapa pemuda kulit hitam dengan meja setinggi pinggang yang dipenuhi buku-buku dan selebaran berisi tulisan Ibrani; rangkaian doa mistis dalam syariat Yahudi.

Apakah saat ini aku masih Yahudi?

Mendongakkan sedikit kepalaku, kubah Al Aqsha terpampang megah, menggaungkan adzan di tengah hari terik yang dipadati para peziarah; orang-orang yang datang dengan kerinduan. (Di mana Abu Hasan?)

Aku mencintai negeri ini, bukan saja karena ini negeri yang dijanjikan….

Setelah sekian peristiwa kualami, cintaku tak lapuk, tetap menyemai di hati. Kota eksotis yang menautkanku dengan ritus masa lalu, berkelindan dengan aroma sakral keimanan. Kota ini sangat pantas untuk dicintai, bukan saja karena seseorang memilih Yahudi, Kristen, atau Islam sebagai jalan pencerahan.

Telah lama aku ragu dengan keimanan (kucoba menepis ragu, berprasangka bahwa rasa ini mungkin hanya berasal teluk kekecewaan akibat perlakuan yang tidak manusiawi) . Ragu yang sama saat beberapa tahun lalu, aku ikut berdemo dengan sebarisan kaum Falashas—menurut berita, jumlahnya tak kurang dari 15.000 orang—melakukan protes di depan kantor perdana menteri, atas perlakuan yang sungguh merendahkan.

Mungkin benar kata Shameer, hanya orang-orang Falashas yang mencinta, namun sama sekali tidak dicintai. Dengan alasan cinta itu berikut semangat kenegaraan yang meluap-luap, secara periodik kaum Falashas menyumbangkan darah di Bank Darah Nasional Israel. Dan, puncak penghinaan itu terasa saat mereka mengetahui darah kaum Falashas itu tidak diperlakukan semestinya, tetapi dibuang diam-diam. Kaum Yahudi kulit putih tak mau menerima donor dari kaum kulit hitam. Pemerintah Israel berusaha merasionalisir tindakannya itu dengan mengatakan bahwa 1% dari komunitas Yahudi Ethiopia diketahui mengidap HIV. Sebuah pembelaan yang tidak berarti karena toh darah yang terinfeksi HIV bisa terlacak, sehingga tak perlu mereka melakukan ‘pembuangan’ secara brutal terhadap darah para Falashas.

Penghinaan yang sangat menyakitkan….

Aku mencintai kota ini, tapi tidak orang-orangnya….

“Aku telah Islam,” kata Abu Hasan saat kami pertama bertemu. Dia tinggal berdampingan dengan apartemen tempat Shameer, kuketahui saat ada telepon memintaku cepat-cepat datang ke alamat yang ia sebutkan. Saat-saat di mana kutemukan Shameer sekarat dengan obat pembasmi serangga.

Sepertiku dan Shameer, Abu Hasan berkulit hitam. Keluarganya juga aliya, datang ke Israel dalam gelombang Operasi Sulaiman. Dan, sejak menempuh kuliah di Hebrew University, ia memilih Islam sebagai agamanya.

Abu Hasan mengatakan, ia mengetahui sesuatu tentang kematian Shameer. Dan, ia hendak mengatakannya kepadaku hari ini, semoga bisa membantu. Tentu saja ini menerbitkan minatku untuk menyusuri Dinding Ratapan seraya menunggu adzan.

Sesudah ayahku, praktis hanya Shameer keluargaku yang tersisa. Seluruh famili dari pihak ayah maupun ibuku tewas di Amrakuva. Bahkan, wanita yang dinikahi ayahku yang kemudian melahirkan Shameer, juga seorang yang tidak memiliki famili, dan meninggal setelah satu tahun menjanda. Cintaku pada Shameer menyaingi cintaku pada Yerusalem. Untuk itu, aku merasa berhak mengetahui sekecil apa pun informasi tentangnya.

“Dia tidak mati bunuh diri. Ada sebuah rekayasa yang dilakukan untuk menghabisinya, dan dikesankan bunuh diri. Aku mengetahuinya belum lama. Itu karena aku juga baru mengerti Shameer ternyata telah masuk Islam. Di sini, telah terjadi beberapa makar untuk menyingkirkan para mahasiswa yang tak lagi bisa dihalangi untuk masuk Islam.”

Aku tak terkejut. Sejak pertama aku telah menduga. Namun, karena aku telah dihadapkan dengan tembok tebal hitam birokrasi, dan mungkin intelijen, aku memutuskan untuk menerima Shameer bunuh diri.
***

SAYANGNYA, KENDATI akhirnya aku bertemu Abu Hasan, kami tak sempat bercerita apa-apa. Kerusuhan terjadi lagi, bagai makanan sehari-hari, yang melibatkan tentara bersenjata Israel. Helikopter meraung-raung di udara menyerang pemukiman muslim di dekat Al Aqsha. Situasi di Palestina memanas pasca-pembunuhan Syaikh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual Hamas. Penangkapan terhadap para aktivis Hamas berlangsung gila-gilaan, dan korban berjatuhan tidak terbatas pada kalangan aktivis, tetapi juga penduduk sipil yang tak bersalah; yang tak selalu orang-orang Islam, sebagian mereka adalah warga biasa dengan jenis iman yang beragam.

Karena peluru tidak lebih dulu bertanya ‘agamamu apa’ sebelum memutuskan untuk merobek kulit dan memberaikan tulang belulang.

Aku terlambat mendengar berita rusuh itu, sehingga yang kutemui hanya sisa-sisa pertempuran berikut ceceran darah dan proyektil peluru. Korban-korban dilarikan ke Rumah Sakit Omar Mochtar, termasuk Abu Hasan. Aku segera mengejar ke sana.

Di pintunya, wajah-wajah resah menyambutku dengan kepala penuh tanya.

“Assalamu’alaikum!” seruku. Aku memutuskan memakai salam ini demi bisa bertemu Abu Hasan.

Aku harus mendengar rahasia itu darinya. Karena itu, aku harus mengaku sebagai orang Islam, agar mudah memasuki rumah sakit ini. Rumah sakit ini milik yayasan Islam, dan aku yakin pekerja di dalamnya menyimpan kewaspadaan yang tinggi terhadap orang-orang asing. Sebab, yang kutahu adalah mereka begitu mengenal orang-orang yang seiman dengan mereka. Situasi memanas, dan semua orang berada dalam puncak sensitifitas.

“Abu Hasan,” sebutku pada seorang perawat, yang segera mengantarku ke bangsal tempat lelaki itu terbaring. ICU. Ia belum bisa diganggu. Sedang dilakukan tranfusi. Seorang pedonor darah terbaring di sebelahnya.

Darahku tersirap. Pedonor itu jelas berkulit putih. Dan bukan ia saja yang kulihat. Ada lagi beberapa muslim kulit putih sedang mendonorkan darah, tak peduli yang memerlukannya orang kulit putih atau hitam.

“Assalamu’alaikum, Saudaraku…!” sapa seorang laki-laki, kulit putih, dengan dahi menghitam bekas sujud. Pakaian yang ia kenakan, sorot wajah serta tanda hitam di dahi itu memudahkanku untuk menyimpulkan bahwa ia seorang Islam.

Aku mengangguk, gagap, dan mencoba menjawab salam itu dengan terbata-bata. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Allahu akbar! Semoga masih sempat. Saudaraku memerlukan darah. Persediaan darah di sini telah habis. Saya membutuhkan darah A, dan saya telah berputar-putar selama satu jam di sini mencari-cari orang yang bersedia mendonorkan darahnya. Perlu tiga orang, dan saya baru memperoleh satu; dua dengan saya. Apakah golongan darah Anda?”

“A.”

“Subhanallah! Bersediakah Anda mendonorkan darah untuk saudara saya?”

Sejenak terbayang di benakku penghinaan yang menyakitkan itu; darah yang dibuang diam-diam.

“Saya? Kulit hitam?”

Denyut itu menguasai jantungku. Berdebar-debar. Tapi, segera kukatupkan mulutku mencegah tanya berlanjut. Sejenak mata itu mencermati, seperti berusaha meyakinkan kalimatku tadi.

“Oh… eh… baiklah! Tentu saja saya bersedia. Kapan donor dimulai?”

Wajah itu penuh syukur. “Terima kasih. Perlu menjalani pemeriksaan dulu di laborat. Kita ke sana segera.”

Entahlah… apa yang kupikirkan sekarang. Apakah aku mulai menimbang-nimbang tentang keimanan? Aku tak tahu. Yang kurasakan hanyalah rasa penerimaan yang begitu mewah. Mungkin benar kata Shameer, tak ada yang lebih realistis dalam kehidupan ini selain kesetaraan. Secara naluriah, manusia membutuhkan persamaan hak, sebuah tuntutan sederhana yang telah begitu purba. Cermin yang kulihat tadi dengan nyata memproyeksikan kebersamaan dan kesetaraan. Tak ada cinta yang perlu merana. Bahkan, seorang kulit hitam leluasa untuk mencintai saudaranya yang berkulit putih. Alangkah….

Telah sampaikah aku di tanah yang dijanjikan—atau menjanjikan—itu?

Aku mencintaimu, Yerusalem… dengan seluruh napas dan darahku.

Sakti Wibowo

The Global Rice Science Partnership


The Global Rice Science Partnership (GRiSP) is a single strategic goal and work plan for global rice research.
GRiSP streamlines current research for development activities of the Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR). GRISP aligns these initiatives with numerous partners and adds new research activities to which science can make significant contributions.


This partnership also builds the capacity of the next generation of rice scientists. Partners are advanced research institutions and universities; national research, education, and extension systems; international and regional fora and development organizations; CGIAR centers; emerging national research systems; the private sector; and civil society organizations.

Research areas: rice science and related systems research

  • Agronomy
  • Crop physiology
  • Entomology
  • Plant pathology
  • Soil and water science
  • Plant breeding
  • Social sciences

Types of scholarship

  1. 3–4 years for a full Ph.D. program
  2. Up to 3 years for a Ph.D. sandwich degree program

Scholarship benefits

  • Round-trip airfare and related travel expenses
  • Monthly stipend with local medical and accident insurance
  • Research support
  • Leadership and professional development funds
  • University fees (with an upper limit)

PROCEDURE AND REQUIREMENTS

All Global Rice Science Scholarships (GRiSS) are awarded on a competitive basis for developed- and developing-country candidate participation. For the GRiSS, a Selection Committee, composed of the training head or equivalent from the respective research institution, and the respective research unit heads and program leaders will guide the selection process.
Eligibility requirements
  • Be outstanding scholars or students seeking a career in rice research
  • Be highly qualified scientists early in their career
  • Be involved in the field of rice science and related systems research
  • Possess adequate proficiency in English
  • Be able to complete university registration within a minimal time of scholarship being awarded
  • If already enrolled and applying for a Ph.D. sandwich degree program, the applicant must also have endorsement from his/her university supervisor to participate.
Potential applicants may seek co-funding for their research and study from different sources that may provide more flexibility in their choice of a university.
We provide a gender-sensitive environment and strongly encourage women applicants.
Jika Anda tertarik dengan beasiswa luar negeri Global Rice Science Scholarships 2011, Anda dapat mengakses info beasiswa lengkapnya di situs resminya. Deadline-nya adalah 31 April 2011.





Tentang Rasa

 
Seorang pria bertemu dengan seorang gadis di sebuah pesta, si gadis tampil luar biasa cantik bersahaja, banyak lelaki yang mencoba mengejar si gadis.
Sedangkan si pria sebetulnya tampil biasa saja dan tak ada yang begitu memperhatikan dia, tapi pada saat pesta selesai dia memberanikan diri mengajak si gadis untuk sekedar mencari minuman hangat. si gadis agak terkejut, tapi karena kesopanan si pria itu, si gadis mengiyakan ajakannya.

Dan mereka berdua akhirnya duduk di sebuah meja yang kosong, tapi si pria sangat gugup untuk berkata apa-apa suasana hening ini berlangsung cukup lama, dan akhirnya si gadis mulai merasa tidak nyaman dan berkata,

"Kita pulang aja yuk...?!?".

Namun tiba-tiba si pria meminta sesuatu pada sang pramusaji,

"Bisa minta garam buat kopi saya?"

Semua orang yang mendengar memandang dengan heran ke arah si pria, aneh sekali!!.
Wajahnya berubah merah, tapi tetap saja dia memasukkan garam tersebut ke dalam kopinya dan meminumnya. Si gadis dengan penasaran bertanya,

"Kenapa kamu bisa punya hobi seperti ini?"

Si pria menjawab, "Ketika saya kecil, saya tinggal di daerah pantai dekat laut, saya suka bermain di laut, saya dapat merasakan rasanya laut, asin dan sedikit menggigit, sama seperti kopi asin ini. Dan setiap saya minum kopi asin, saya selalu ingat masa kanak-kanak saya, ingat kampung halaman, saya sangat rindu kampung halaman saya, saya kangen kepada orang tua saya yang masih tinggal di sana ."

Begitu berkata kalimat terakhir, mata si pria mulai berkaca-kaca, dan si gadis sangat tersentuh akan perasaan tulus dari ucapan pria di hadapannya itu.
Si gadis berpikir bila seorang pria dapat bercerita bahwa ia rindu kampung halamannya, pasti pria itu mencintai rumahnya, perduli akan rumahnya dan mempunyai tanggung jawab terhadap rumahnya.
Kemudian si gadis juga mulai berbicara, bercerita juga tentang kampung halamannya nun jauh di sana, masa kecilnya, dan keluarganya.
Suasana kaku langsung berubah menjadi sebuah perbincangan yang hangat juga akhirnya menjadi sebuah awal yang indah dalam cerita mereka berdua.

Si gadis akhirnya menemukan bahwa si pria itu adalah seorang lelaki yang dapat memenuhi segala permintaannya, dia sangat perhatian, berhati baik, hangat, sangat perduli .. betul-betul seseorang yang sangat baik.
Si gadis hampir saja kehilangan seorang lelaki seperti itu! Untung ada kopi asin!!

Kemudian cerita berlanjut seperti layaknya setiap cerita cinta yang indah, si gadis menikah dengan si pria dan mereka hidup bahagia selamanya, dan setiap saat si gadis membuat kopi untuk si pria, ia membubuhkan garam di dalamnya, karena ia tahu bahwa itulah yang disukai oleh pangerannya.

Setelah 40 tahun, si pria meninggal dunia, dan meninggalkan sebuah surat yang berkata,

"Sayangku yang tercinta, mohon maafkan saya,
maafkan kalau seumur hidupku adalah dusta belaka.
Hanya sebuah kebohongan yang aku katakan padamu ... tentang kopi asin.
Ingat sewaktu kita pertama kali jalan bersama?
Saya sangat gugup waktu itu, sebenarnya saya ingin minta gula tapi malah berkata garam.
Sulit sekali bagi saya untuk merubahnya ...
Karena kamu pasti akan tambah merasa tidak nyaman, jadi saya maju terus.
Saya tak pernah terpikir bahwa hal itu ternyata menjadi awal komunikasi kita!
Saya mencoba untuk berkata sejujurnya selama ini, tapi saya terlalu takut melakukannya,
karena saya telah berjanji untuk tidak membohongimu untuk suatu apa pun.
Sekarang saya sekarat, saya tidak takut apa-apa lagi jadi saya katakan padamu yang sejujurnya...
Saya tidak suka kopi asin, betul-betul ANEH dan rasanya TIDAK ENAK.
Tapi saya selalu dapat kopi asin seumur hidupku sejak bertemu denganmu...
Dan saya tidak pernah sekalipun menyesal untuk segala sesuatu yang saya lakukan untukmu.
Memilikimu adalah kebahagiaan terbesar dalam seluruh hidupku.
Bila saya dapat hidup untuk kedua kalinya...
Saya tetap ingin bertemu kamu lagi dan memilikimu seumur hidupku,
meskipun saya harus meminum kopi asin itu lagi. ”

Air mata si gadis betul-betul membuat surat itu menjadi basah.
Kemudian hari bila ada seseorang yang bertanya padanya, apa rasanya minum kopi pakai garam?
Si gadis pasti menjawab dengan yakin, "Rasanya manis !! "

Kadang Anda merasa mengenal seseorang lebih baik dari orang lain, tapi hanya untuk menyadari bahwa pendapat Anda tentang seseorang itu bukan seperti yang Anda gambarkan. Sama seperti kejadian kopi asin tadi.

TAMBAHKAN CINTA dan KURANGI BENCI karena terkadang GARAM terasa lebih MANIS daripada GULA.

HIDUP adalah sebuah SENI yang teramat INDAH,
NIKMATILAH dengan TANGGUNG JAWAB dan rasa SYUKUR,
Apapun KELEBIHAN dan KEKURANGAN pasangan anda,
Kalau Anda tengah mulai punya pasangan, TERIMALAH kekurangan-kekurangan pasangan Anda dengan BIJAKSANA.
Disitulah Anda akan DAMAI dan TENTERAM (SAKINAH) bersamanya...
Disitulah akan muncul rasa KASIH dan SAYANG ( MAWADDAH wa RAHMAH)...

WALLAHU A'LAM BISSAWAB..

Pitung sang Pahlawan


Pitung lahir di Samping Stasiun Kereta Api Palmerah, Rawa Belong tahun 1874, bapaknye dulu dagang sayur trus alih profesi jadi pedagang kambing, ibunye kerja dirumah aja, nama kelahiran Pitung adalah Salihun. Umur 14 taon si Salihun disuruh bapaknye pegi ke Tenabang untuk dagangin lima kambing. Saat itu memang Tenabang terkenal sebagai pasar kambing terbesar di Batavia. Sampe di perempatan Pejompongan, tuh kambing diembat sama begal dari kampung Kebayoran. Pitung dipukulin kemudian nangis keras-keras. Ia akhirnya ngeloyor ke kebon kosong. Kalo pulang dia bakalan sedih karena tau itu harta satu-satunya bapaknya trus dia kagak tega ngeliat ibunya. Akhirnya sampe maghrib dia malah tidur di sebuah masjid kecil di deket kampung pejompongan (sekarang di belakang kantor pajak). Waktu jelang Isya pemilik masjid kaget ada anak kecil ngelamun sendirian. Haji Naipin pemilik masjid itu ngampirin Pitung dan nanya "Anak sape lu, malem-malem gini masi di mari?" kata Haji Naipin. Salihun ngedangakin kepalanye dan ngeliat Haji Naipin. "Kambing aye ilang Pak Aji, diembat sama anak sono" jawab Pitung sambil nunjukin satu tempat. "Udah lu ikut gue ke rumah, lu makan dulu. Besok pagi lu gue anterin ke tempat orang tua lu, ye" Kata Haji Naipin dengan mata teduh.

Paginye Salihun diajak ke kampung Rawabelong disono Haji Naipin mau nalangin kambing nyang ilang, terus si Salihun dia minta buat dia didik "Nih, anak gue didik aje biar die jadi orang nyang 'denger kate', entar lu kagak usah kuatir nih anak gue mau didik agame, biar kagak mabok kayak belande gile"... Kata Haji Naipin. Bang Piun oke-oke aje, emaknye Salihun Mpok Pinah nangis sambil sesenggukan dia bilang "Salihun belon disunat, Pak Haji" Haji Naipin ketawe langsung aje dia bilang "udah tenang soal sunat aye nyang jabanin"....

Selama 10 taon Salihun dididik ikut Pak Haji Naipin dia juga diserain tugas untuk jualin kambing Haji Naipin di Pasar Tenabang. Satu saat di Tenabang si Pitung ketemuan sama orang nyang dulu ngembat kambingnye ternyate die udah jadi centeng Belande Kebon Sirih. Kontan aje si Pitung loncat dan hajar tuh centeng, nggak taunya temennye centeng banyak, ada kali 18 orang, ngejar-ngejar si Salihun.Si Salihun ngabur ke arah kampung Bali, disono dia ketemuan sama jagoan kampung Bali namanye : Abdulrachman. Disono anak kampung Bali nyembunyiin Salihun centeng2 Kebon Sirih kagak bisa nemuin Pitung. Bersama temennya Abdulrachman akhirnye si Salihun membentuk geng nyang kemudian terkenal bernama Geng Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh) karena Salihun mengenalkan Dji'ih lalu Abdulrachman mengenalkan : Moedjeran, Merais dan Gering, cuman nyang satunye kemungkinan bernama : Somad (nyang disebut-sebut kelak akan berkhianat pada Pitung) dari nama Pituan Pitulung inilah Salihun berganti nama jadi Pitung (singkatan Pituan Pitulung).

Bertujuh orang ini kemudian mencari ilmu silat, jago-jago pukul betawi mereka sambangin. Sampe suatu saat di kampung deket Ulujami mereka nemuin seorang alim ulama nyang berasal dari Kampung Jagakarsa bernama Mohammad Kahfi untuk ngajarin Ilmu Ajian Rawa Rontek. Inilah ajian ilmu pitung yang terkenal.

Pitung ngeliat kalo sistem Belande kagak adil, mereka ngebeking tuan-tuan tanah untuk gebukin rakyat yang jadi buruh tani - (gile untung Pitung belon belajar sosialisme)- Nurani Pitung terketuk akhirnye dia bareng geng-nya nyuri rumah juragan kapal dari Bugis bernama Haji Saipudin, pencurian ini berlangsung berkali-kali lalu setelah Haji Sapiudin bingung si Pitung puter otak. Si Pitung belagak jadi Demang Meester Cornelis, dan dia nyuri baju demang lalu dia pake. Si Dji'ih nyang belagak jadi opas, trus si Pitung perintahin duit Haji Saipudin atas nama pemerentah Kolonial harus diserahkan ke Demang Corneelis untuk diawasin dalam pencurian setelah duit ditangan Pitung langsung lari.

Laporan yang terus menerus tentang perampokan dan pencurian membuat Pemerentah Kolonial dalam hal ini Gemeente Batavia merasa geram. laporan tentang Pitung ini sampai ke meja Kepala Reserse Batavia, A.W.V Hinne atau Heyna, Kepala Reserse ini sebelumnya adalah kepala Polisi yang keras dan terkenal, orang2 Betawi dulu bilang dia Meneer Sekotena asal kata dari Skout Heyna. Kepala Polisi ini orangnya cepat naik darah tapi pinter, dia bentuk satu tim khusus untuk mencari Pitung. Kasus Pitung ini bersamaan dengan macam-macam pemberontakan petani di Condet, Tangerang dan terakhir kabar ada semacam bentrok antara polisi dengan Bupati Madiun. Heyna tidak mau Batavia kena imbas kasus Madiun. Tapi sebelum tim khusus intel reserse bekerja, ada laporan bahwa kepala kampung Kebayoran bisa nangkep tuh Pitung. Pitung lalu dibawa ke sel dan dipenjara selama satu tahun, di dalam sel pitung konspirasi dengan penjaga penjara dan mendapatkan belincong (semacem linggis) buat nyongkel pintu penjara.



Kaburnya Pitung membuat Heyne naik pitam dia minta selidikin kenapa pitung kabur, selidik punya selidik awalnya Asisten Residen kena getah kecurigaan heyne, ternyata terbukti bahwa konspirasi itu hanya melibatkan kepala penjara. Langsung kepala penjara dilabrak Heyne dan dibui. Heyne kemudian mengaktifkan kembali tim khusus Intel. Laporan demi laporan terus berlanjut tentang pencuria di seputaran Batavia, Tuan Tanah-Tuan Tanah Tangerang bahkan sudah merasa terancam dengan berita-berita di Batavia mereka membicarakan terus ulah si Pitung. Akhirnya ada laporan yang berhasil dihimpun Pitung dan Dji'ih ada di sekitar Pasar Minggu kadang-kadang keliatan di Kalibata (disitu ada kebon karet milik Tomas Bata yang kelak membangun Pabrik Bata tahun 1939). Lalu Heyna menugaskan Djeram Latip jagoan intel-nya untuk ngintipin kegiatan Pitung disana Pitung terlihat sedang mandi di pinggir kali Ciliwung dibantaran Kampung Djawa. Lalu Pitung terlihat oleh seorang wanita yang mengenalnya di kapal sungai yang bernama Prasman. Dari sana kemudian ada laporan Pitung beroperasi ke Kampung Caringin lalu pindah lagi ke Marunda di Marunda Pitung menemui beberapa kelompok perlawanan. Indikasi Pitung akan melakukan pemberontakan massal sudah terlihat apalagi sudah rame gerakan-gerakan politik untuk menentang pemerintahan Hindia Belanda. Oleh Heyna Pitung dimasukkan ke dalam kategori buronan politik, bukan lagi rampok.

Pada bulan Rajab taon 1914 Masehi, si Dji'ih keliatan lagi ngaso di sebuah kampung bernama Kemang. Di Kampung Kemang itu Dji'ih dijebak tapi kemudian dia berhasil melarikan diri. Baru di kampung Tegal Parang si Pitung kejebak bareng Dji'ih, disana terjadi tembak tembakan. Si Pitung emang udah jago pegang Revolver jenis Circa buatan taon 1912. Disana Djeram Latip ketembak dan mati di tempat, Si Pitung dan Dji'ih ngabur ke arah kampung Bukit Duri, di Bukit Duri dia ketemu dengan Djoeragan Surya Utama alias Bang Uya, orang Cirebon nyang jadi Mandor di Kampung Bukit Duri. Oleh Uya, si Pitung disarankan ke Pancoran aje disana ada kelompok Haji Saripin dan Si Pitung dan Dji'ih ke Pancoran, di kampung Pancoran Dji'ih sakit panas dan dibawa pulang ke Rawa Belong. Di Meja Heyne masuk laporan kalo Dji'ih ada di kampung Rawabelong kontan aje si Heyne nyerbu sendiri ke Rawabelong, operasi penangkapan Dji'ih dia pimpin sendiri. Disana Dji'ih kagak bisa ngelawan, akhirnye Dji'ih ditangkep dan dibuang ke Singapura.

Denger sohibnye dibuang, Pitung akhirnye nyusun gerakan untuk membunuh meneer Heyne tapi dia kekurangan orang. Sementara Heyne sudah mendapatkan portofolio strategi ngalahin ilmu-ilmunye Pitung. Ternyate ajian nyang paling bahaye adalah ajian Rawa Rontek. Nawarin ajian Rawa Rontek sederhane aje. Cukup lemparin telor ayam lima biji saat Pitung ngedepruk tanah dan bacain aji-aji. Cara gitu udah bisa dilaksanain, si Heyne sendiri nyang akan mancing Pitung keluar dia tidak ingin adu tembak tapi si Pitung bisa dikalahin lewat adu ilmu. Saat Pitung kejebak di sekitar pekuburan Tenabang (sekarang museum Prasasti) disono Pitung dikurung, sebelonnye si Heyne tereak : Lu orang Inlaander, boleh adu ilmu sama Ik, tapi lu orang jangan keluarin itu revolver". Pitung ketawe aje, mane mungkin bule gile bisa ngeluarin ilmu nyang dia pelajarin palingan Wiskunde aje (wiskunde = matematika), bukan ajian elmu ngilang atau kebal bacok. Akhirnye Pitung keluar dan nantang Heyne bekelahi, kontan si Heyne turun dari mobilnye dan mancing Pitung ngeluarin ajian Rawa Rontek, Pitung kepancing pas baca ajiannye dilemparin ama Heyne telor ayam lima biji, si Pitung tiba-tiba jato, trus Heyne tereak minta dilemparin pelor emas. Keruan aje si Pitung ditembakin ama Heyne dua tembakan pelor emas. Pitung langsung mati.

Heyne minta kuburannye di makamin aje di kampung Penjaringan daerah Krekot, tapi ada orang nyang bilangin Heyne kuburannye musti dijage. Supaye Pitung jangan idup lagi. Heyne minta dua puluh orang jage kuburan si Pitung. Sukses Heyne lewatin si Pitung dia diangkat jadi Kepala Polisi se Batavia, kantornye di Tenabang sebelah timur Pasar Tenabang sekarang (kantor PBB). Si Pitung nyang diyakinin bisa idup lagi terkenal dengan rancaknye di kalangan rakyat inilah rancak si Pitung :

Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya

Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya

Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer
keras ucusnya dikeringin

Waktu dikubur pulisi pade iringin

Jago nama Pitung kuburannya digadangin

Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi

Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi

Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi


Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye

Belencong pacul itu waktu suda sedie

Lantaran digali
Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die

Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata

Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu kelewat ramenye

Segala permaenan kaga larangannye

Tuju ari tuju malem pesta permisiannya

Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya

Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya