Pages

Monday 29 May 2017

Duterte kepada Tentara: Anda Perkosa 3 Wanita, Saya yang Bertanggung Jawab

Duterte kepada Tentara: Anda Perkosa 3 Wanita, Saya yang Bertanggung Jawab

www.posmetro.info - Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengizinkan tentaranya yang terlibat dalam operasi Marawi memperkosa wanita. Selain itu, ia juga mengklaim akan bertanggung jawab dengan seluruh pelanggaran selama darurat militer berlangsung.

“Untuk darurat militer ini dan akibat maupun konsekuensi pelaksanaannya, saya sendiri yang akan bertanggung jawab. Lakukan tugas Anda, saya akan uruskan yang lain,” ungkapnya pada Jumat (26/05) dalam sebuah pidato di hadapan tentara Filipina di militer, Kota Iligan, Mindanou.

“Saya rela dipenjaran karena Anda,” ungkapnya mengacu kepada tentara yang melakukan pelanggaran. Lalu dia bergurau,”Jika Anda memperkosa tiga wanita, saya yang akan mengaku bahwa ‘sayalah pelakunya’,” sambungnya.

Menurut laporan Reuters, ungkapan Duterte tersebut merupakan lelucon. Presiden Filipina tersebut dikenal kerap mengeluarkan pernyataan ofensif namun berdalih bahwa pernyataan demikian hanya sebagai candaan.

Ini bukan pertama kalinya Duterte mengeluarkan lelucon kontroversi. Sebelumnya, dihadapan publik ia menceritakan tentang kerusuhan penjara tahun 1989 di kota Davao dimana ada seorang wanita misionaris Australia terbunuh. Menurutnya, narapidana telah memperkosanya secara bergilir.

Ia mengatakan bahwa korban tersebut cantik. Selanjutnya, ia menyebutkan walikota kota Davao seharusnya yang pertama kali memperkosa wanita itu.
Pernyataan tersebut lantas telah menyebabkan kemarahan publik menjelang pemilu tahun lalu. Ia kemudian minta maaf dan mengatakan bahwa dia tidak bermaksud merendahkan martabat wanita ataupun korban pemerkosaan.

Duterte terkenal dengan gaya pidatonya yang sering memuat ungkapan senonoh, ancaman dan lelucon tentang subjek yang tabu. Bahkan akibat ulahnya, tidak sedikit perasaan orang-orang yang tersinggung.

Sebagaimana diketahui, sejak Selasa 24 Mei 2017 pemerintah Filipina mengumumkan darurat militer dan mengungsikan penduduk kota Marawi, Mindanou. Pengumuman itu merespon operasi militer untuk melawan kelompok Islam yang diduga terkait ISIS.

Kendati demikian, kelompok HAM dan beberapa anggota parlemen mengkritisi keputusannya. Menurut mereka tindakan tersebut berlebihan dan ungkapanya itu dapat menyebabkan penyalahgunaan tugas oleh tentara yang terlibat operasi. [kn]

http://www.posmetro.info/2017/05/duterte-kepada-tentara-anda-perkosa-3.html

Kisah pilu Ahmed Jaber, pengungsi Palestina yang 'tersandera' di Jakarta

JAKARTA, Indonesia - Kamar kost di Jalan Kebon Kacang nomor 34, Jakarta Pusat, itu sungguh berantakan. Berukuran sekitar 25 meter persegi, kamar tersebut disesaki berbagai peralatan rumah tangga, mulai dari selimut, tumpukan kardus, hingga tas.
Di kamar yang sesak itulah Ahmed Ali Said Jaber, warga asal Palestina, menanti kejelasan nasibnya bersama kelurga. Pria berusia 32 tahun itu telah menempuh perjalanan panjang dari Irak ke Yordania hingga akhirnya “tersandera” di Jakarta sebagai pengungsi.
Gedung pusat perbelanjaan mewah yang berlokasi tak jauh dari kamar kostnya, menjadi saksi sulitnya bertahan hidup di ibukota sebagai pengungsi. Tak memiliki biaya hidup dan tak bekerja, Ahmed pernah tinggal di pinggir jalan bersama istri dan kedua puterinya. Dia bertahan hidup hanya dengan mengandalkan dana sedekah orang-orang yang lewat.
Kisah Ahmed bermula di Irak, negara kelahirannya. Walau terlahir sebagai warga Palestina, tetapi dia dan keluarga bermukim lama di negeri berjuluk seribu satu malam tersebut.
“Saya dan keluarga tinggal di Irak hingga tahun 2003. Saat itu, pasukan Amerika Serikat sedang menginvasi Irak sehingga menimbulkan konflik. Salah satunya memicu konflik antara etnis Sunni dengan Syiah,” ujar Ahmed yang ditemui Rappler di kamar kostnya pada Senin, 30 Januari 2017.
Akibat konflik antar etnis itu, rumahnya dibakar. Bahkan, Ahmed nyaris tewas karena api ikut menyambar tubuhnya. Alih-alih mengungsi kembali kota Jaffa di Palestina - yang tanahnya diambil paksa oleh Israel - dia memilih kabur ke negara tetangganya di Yordania pada akhir 2003.
“Saya sempat tinggal selama 8 bulan di sebuah gereja tapi kemudian kami tinggal di tenda yang berada di tanah kosong,” kata Ahmed, Di tanah kosong itu dia tinggal bersama 800 orang lainnya.
Sayangnya, karena mengungsi, Ahmed tidak diizinkan untuk bekerja. Sehingga, dia hanya mengandalkan bantuan yang didistribusikan ke kamp pengungsi.
Di sisi lain, di Yordania pula dia bertemu dengan calon pendamping hidupnya, Tati Juati Sahli al Fasem. Tati merupakan WNI yang bekerja di Yordania sebagai asisten rumah tangga. Keduanya berencana menikah di tahun 2005. Tetapi, banyak tantangan yang harus mereka hadapi, karena perbedaan status warga negara.
“Di Pengadilan Agama di Yordania, sulit mewujudkan pernikahan beda kewarganegaraan. Saya tidak punya biaya untuk mengurus biaya dokumen pernikahan. Akhirnya, kami sempat menikah secara agama saja,” kata Ahmed.
Menyadari posisinya sebagai kepala keluarga, Ahmed rela melakukan pekerjaan serabutan, walaupun risikonya ditangkap oleh otoritas setempat. Di tahun 2007, puteri pertama mereka, Rawan Jaber lahir. Selang dua tahun, Ahmed kembali dikarunia puteri yang diberi nama Razan Jaber.
Tetapi, untuk bisa mendapatkan sertifikat kelahiran untuk kedua puterinya, Ahmed harus mengurus surat nikah yang sah.
“Akhirnya, saya mengumpulkan uang dengan bekerja serabutan dan meminjam uang untuk biaya surat nikah. Saya sempat ditangkap polisi karena ketahuan bekerja. Sebab, jika tidak begitu, dari mana saya memperoleh biaya untuk membiayai anak dan istri,” tutur dia.
Walau pernah ditangkap, Ahmed tidak kapok. Dia tetap bekerja, menabung dan meminjam uang untuk pindah ke negara lain dan membangun kehidupan baru.
Maka terkumpul lah dana sekitar Rp 22 juta untuk membeli tiket pesawat menuju ke negara sang istri, Indonesia.
Menyeberang ke Australia
Dia tiba di Indonesia pada bulan Februari 2014. Namun, Indonesia bukan tempat yang dia tuju untuk membangun kehidupan baru. Ahmed membidik Australia.
“Saya mau ke Australia. Tidak apa-apa walau secara ilegal lewat laut. Tidak masalah, jika nanti saya mati. Yang penting, saya ingin mencari kehidupan yang lebih baik untuk anak,” ujar Ahmed.
Negeri Kanguru dipilih sebagai negara tujuan, karena di sana sudah ada teman dan keluarga jauh yang bermukim di sana. Bahkan, sudah menjadi warga negara setempat.
Sayangnya, kesempatan bagi Ahmed menyeberang ke Australia sudah tertutup. Sejak pemerintahan dipegang oleh partai liberal, Australia memberlakukan kebijakan yang keras mengenai pengungsi. Negeri Kanguru tidak segan-segan mendorong balik perahu pengungsi kembali ke perairan Indonesia.
Ahmed pun menyadari soal kebijakan baru Pemerintah Australia. Maka, dia mendatangi kantor perwakilan PBB untuk mengurus pengungsi, UNHCR agar bisa diberi status pengungsi.
Sayangnya menjadi pengungsi di Jakarta justru mengulangi kisah lama saat dia tinggal di Yordania. Dia tidak boleh bekerja dan kedua puterinya pun tidak bisa bersekolah.
“Saya memutuskan mendaftar ke kantor UNHCR agar bisa berangkat ke negara ketiga. Saya sudah ceritakan apa permasalahan saya, tetapi mereka hanya mengatakan agar saya bersabar,” tutur Ahmed.
Sayang, kata “sabar” tidak membantunya memberi solusi bagaimana caranya bertahan hidup di Jakarta. Dia mengaku sudah menghubungi Kedutaan Palestina di Jakarta, tetapi mereka juga tidak banyak membantu.
Kini, sudah tiga tahun dia memegang kartu sebagai pengungsi. Sayangnya, hingga saat ini belum ada kepastian yang diperoleh kapan dia dan keluarga akan ditempatkan di negara baru.
“Saya ditempatkan di mana saja entah itu di Kanada, Selandia Baru atau Amerika Serikat juga tidak masalah. Yang penting saya bisa bekerja dan membentuk kehidupan yang baru,” tutur dia.
Dia mengaku sebenarnya nyaman tinggal di Indonesia. Warga di sekitar tempatnya tinggal, disebut Ahmed ramah dan hangat jika dibandingkan warga Yordania dan Palestina.
Sayang, sesuai aturan yang berlaku, pengungsi tidak diizinkan bekerja. Padahal, Ahmed memiliki keahlian memperbaiki barang-barang elektronik dan memasak. Dia mengaku memiliki sertifikat keahliannya tersebut.
Ahmed juga sempat berpikir untuk mengajukan menjadi WNI, karena memiliki istri orang Indonesia. Sayangnya, menurut petugas imigrasi di Bandung yang dia tanya, hal tersebut tidak mungkin. Alasannya, dia masuk ke Indonesia dengan menggunakan visa turis yang berlaku selama dua bulan.
Ahmed juga mendengar soal kecil kemungkinan dia akan ditempatkan di Negeri Paman Sam, karena kebijakan imigrasi Presiden Donald Trump yang keras. Namun, dia mengaku tidak khawatir dengan kebijakan tersebut.
“Saya tidak masalah jika Presiden Trump tidak bersedia menerima pengungsi. Saya tetap sabar agar bisa ditempatkan di negara lain,” katanya sambil menyebut kebijakan Trump sudah dirasakan langsung oleh pengungsi asal Palestina lainnya.
Ingat anak
Kini, Ahmed mengaku bingung, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selama tiga bulan terakhir, dia dan keluarga bisa tinggal di kamar kost tersebut karena dibiayai oleh seorang rekannya asal Mesir.
Rekan Ahmed itu langsung memberikan dana Rp 6 juta untuk biaya tinggal selama 3 bulan terakhir. Sementara, pembayaran kamar kost akan jatuh tempo pada pekan ini.
“Saya selalu sedih ketika memikirkan nasib kedua puteri saya. Situasi ini sangat tidak nyaman untuk mereka. Saya selalu bertanya-tanya bagaimana caranya bisa memberikan kedua puterinya masa depan yang cerah, karena semua rencana saya tidak berjalan mulus,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Oleh sebab itu, harapan juga dia gantungkan kepada warga dan Pemerintah Indonesia. Ahmed berharap mereka terketuk hatinya untuk membantu.
“Sekarang tidak ada yang membantu saya. Saya minta tolong demi anak, karena saya tidak memiliki uang untuk membeli makanan dan tidak mempunyai pekerjaan,” ujar Ahmed memohon.
Asa dan permohonan Ahmed menjadi gambaran umum sekitar 5.000 orang pengungsi yang "tersandera" di Indonesia. Pemerintah pun menghadapi dilema karena bukan termasuk negara yang meneken konvensi PBB mengenai pengungsi.
Kalian memiliki cara untuk membantu Ahmed dan keluarga? Tulis pendapat kalian di kolom komentar. - Rappler.com

Berani dan Terlindungi

Sudah lebih dari satu bulan sejak peristiwa penyerangan terhadap salah satu penyidik senior KPK, Novel Baswedan terjadi. Namun hingga kini belum ada titik terang dalam pengusutan pelaku penyerangan terhadap Novel.
 
Dua kali sudah polisi memeriksa orang yang dicurigai sebagai pelaku penyerangan, tapi hasil sementara ini masih nihil. Kasus pun kembali ke awal. Novel sendiri telah menjalani operasi untuk memacu pertumbuhan selaput mata yang terbakar akibat penyiraman air keras yang menimpanya.
 
Penyerangan terhadap Novel tidak bisa serta merta dianggap kriminal biasa. Pemerintah harusnya segera menduga bahwa serangan terhadap Novel sangat terkait dengan jabatannya sebagai penyidik KPK yang menangani kasus-kasus kakap.
 
Untuk itu, Presiden harus segera membentuk tim independen. Apalagi, serangan maupun teror yang dialami Novel bukan kali ini saja terjadi. Pelakunya harus bisa segera tertangkap. Penyerangan ini telah menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.
 
Pemerintah harus sadar bahwa lambat laun penyerangan serupa bisa dialami siapa saja atau “Novel-Novel” yang lain, baik di KPK maupun institusi penegak hukum lain. Sehingga pada akhirnya, kinerja pemberantasan korupsi Indonesia menjadi menurun.
 
Berdasarkan data dari Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2016 berada di peringkat 90 dengan skor 37. Dari skor, ada kenaikan satu poin, namun dari sisi rating, Indonesia turun dua peringkat. Memang, Indeks Persepsi Korupsi bukan hanya disumbang dari penanganan pemberantasan korupsi saja, tapi juga menyangkut pelayanan publik.
 
Maka itu, sistem penanganan korupsi yang baik tak cukup tanpa ada perlindungan bagi aparaturnya. Berharap besar, teror seperti yang dialami Novel tidak terulang di kemudian hari. Jangan sampai, teror-teror yang menimpa penggawa antikorupsi malah menyumbang terpuruknya rating Indonesia.
 
Pemerintah semestinya memberikan komitmen kuat untuk mendukung KPK agar lembaga tersebut tambah bernyali. Tapi hal ini jangan dianggap sebagai intervensi eksekutif terhadap aparat penegak hukum. Justru peran Pemerintah diperlukan untuk mempercepat proses penanganan kasus. Ini menunjukkan komitmen Pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Jangan sampai kembali muncul kasus penyerangan terhadap “Novel-Novel” yang lain.
 
Di sisi lain, seluruh aparat penegak hukum harus bekerja sama. Pemberian perlindungan terhadap aparat penegak hukum, wajib dilakukan. Secara institusi, KPK juga wajib melindungi aparaturnya. Karena hanya berani saja tanpa terlindungi, tak akan cukup.
 
Semoga!!!

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt591eec008e792/berani-dan-terlindungi

Penetapan Tersangka Habib Rizieq adalah Pelecehan Luar Biasa Terhadap Ulama

JAKARTA (Panjimas.com) – Penetapan Habib Rizieq Syihab menjadi tersangka dalam kasus dugaan pornografi menimbulkan ketersinggungan umat yang luar biasa.
Penetapan tersangka Imam Besar Front Pembela Islam itu merupakan bentuk pelecehan yang luar biasa kepada ulama.
Ketua Tim Advokasi Pembela Ulama dan Aktivis, Eggy Sudjana menegaskan, untuk menjadi saksi dalam perkara itu saja Habib Rizieq tidak pantas, apalagi sampai menyandang status tersangka.
“Kenapa? Karena dia tidak mengetahui, dia tidak melihat, dia tidak mendengar, dia tidak mengalami sebagaimana disebut sebagai saksi,” kata dia seperti diberitakan RMOLJakarta.com, Senin (29/5).
Eggy mewanti-wanti pemerintah agar tidak mengadu domba umat Islam dengan kepolisian. Karenanya, dia meminta Presiden Joko Widodo menghentikan kriminalisasi yang diarahkan kepada para aktivis dan ulama.
“Polisi adalah instrumen di bawah perintah presiden. Jadi, kalau presiden mau hentikan, sangat mudah sekali. Karena Presiden adalah panglima tertinggi di negara ini,” jelasnya.
“Jadi tolong digarisbawahi, kami kaum muslimin sudah amat tersinggung oleh tindakan yang instrumen dibawah pemerintahan presiden yang mengahadapkan antara umat Islam berlawanan dengan Jokowi.” [AW/RMOL]
http://www.panjimas.com/news/2017/05/29/penetapan-tersangka-habib-rizieq-adalah-pelecehan-luar-biasa-terhadap-ulama/

Bela Warga, Prajurit Kopassus Lawan Delapan Pemuda Mabuk

www.posmetro.info - Kopassus TNI AD memberi keterangan mengenai kabar perkelahian jalanan antara seorang anggotanya dengan delapan pemuda mabuk di jalan Tanjung Sari, Sumedang pada hari Kamis malam (25/5).

Kepala Penerangan Kopassus, Letkol Inf Joko Tri Hadimantoyo, menerangkan kejadian itu berlangsung pukul 20.30 WIB. Seorang anggota Kopassus, Sertu Wahyu Fajar Dwiyana (27 tahun), sebenarnya membantu seorang warga yang dikeroyok sekelompok pemuda mabuk.

Prajurit yang bertugas di Makopassus Cijantung itu kebetulan sedang izin cuti untuk melangsungkan pernikahan. Sekitar pukul 20.00 WIB malam itu ia keluar rumah untuk membeli lampu. Saat perjalanan pulang berkendara sepeda motor di Jalan Tanjung Sari, Sertu Wahyu melihat warga pengendara motor yang sedang melintas dihadang dan dikeroyok brutal oleh sekelompok pemuda mabuk.

Wahyu Fajar spontan turun dari motornya dan awalnya mengimbau secara baik-baik agar para pemuda yang berjumlah delapan orang itu tidak melanjutkan aksinya.
"Tidak terima dengan teguran yang dilakukan Sertu Wahyu Fajar, kedelapan pemuda tersebut berbalik berusaha mengeroyok Sertu Wahyu meskipun dirinya sudah mengaku anggota TNI," jelas Letkol Inf Joko Hadimantoyo, kepada wartawan.

Selanjutnya terjadi perkelahian yang tidak seimbang. Sertu Wahyu Fajar Dwiyana membela diri dan berhasil memukul roboh salah satu pengeroyok sehingga tergeletak di jalan. Sementara tujuh pemuda lainnya melarikan diri ke berbagai arah.

Satu pengeroyok yang berhasil diringkus dibawa ke Koramil setempat yaitu Koramil Tanjung Sari Sumedang dengan korban pengendara motor sebagai saksi.

Selanjutnya, pelaku pengeroyokan yang berhasil dilumpuhkan diserahkan ke Polsek Tanjung Sari untuk diperiksa dan menjalani proses hukum lebih lanjut. Sedangkan warga yang menjadi korban kembali ke rumahnya.[rmol]

http://www.posmetro.info/2017/05/bela-warga-prajurit-kopassus-lawan.html