Pages

Friday 30 June 2017

Novel Sebut Jenderal Terlibat, Wakapolri: Jangan Berandai-andai

TEMPO.COMakassar - Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jenderal Syafruddin membantah keterangan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan soal keterlibatan jenderal polisi di balik teror penyiraman air keras terhadap dirinya. Pernyataan Novel Baswedan itu diucapkan saat diwawancarai beberapa media belum lama ini.

"Jangan berandai-andai, penyidikan tak sampai ke sana," kata Syafruddin di Kampus Universitas Hasanuddin, Makassar, Jumat 16 Juni 2017.

Baca: Wawancara Novel Baswedan: Banyak Orang Terlibat Penyiraman Saya

Menurut Syafruddin kasus Novel Baswedan tetap berlanjut. Bahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian dan Pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), kata dia,  sudah melakukan pertemuan dan berkoordinasi semua masalah, termasuk kasus yang menimpa Novel Baswedan .  

"Sedang diinvestigasi kasus penyiramannya, pernah kita coba tangkap pelakunya ternyata pelakunya salah," ucap Syafruddin.

Lihat: IPW: Usut Keterlibatan Jenderal dalam Kasus Novel Baswedan

Menurut dia polisi juga bakal mengecek kebenarannya terkait pengakuan Novel Baswedan yang menyebutkan ada polisi berpangkat jenderal yang terlibat dalam kasus tersebut. 

Kasus Novel sudah berjalan dua bulan lebih ditangani Kepolisian Daerah Metro Jaya, namun belum ada tanda-tanda tuntas karena polisi belum menemukan pelaku penyiraman air keras. 

Lihat: Polri Mengingatkan Novel Baswedan agar Berhati-hati Menyebut Nama
Kondisi mata kiri Novel Baswedan mulai membaik dan  masih menjalani perawatan di Singapura. Namun kondisi mata sebelah kiri masih terdapat masalah akibat terciprat air keras tersebut.

DIDIT HARIYADI

https://nasional.tempo.co/read/news/2017/06/16/063885235/novel-sebut-jenderal-terlibat-wakapolri-jangan-berandai-andai

Rp 2,3 Triliun Sangat Banyak, KPK Dinilai Tak Adil Dalam Kasus E-KTP?

70 Nama di Pusaran Kasus Korupsi e-KTP


Kasus korupsi proyek e-KTP mulai bergulir di tahap persidangan. Sejumlah pihak yang diduga menerima uang terkait proyek ini pun terungkap dalam surat dakwaan.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya siap mengungkapkan nama-nama yang diduga terlibat dalam kasus yang disebut merugikan keuangan negara hingga sekitar Rp 2,3 triliun itu. Termasuk 37 nama dari pihak Komisi II DPR yang belum diungkapkan di dalam surat dakwaan.
"Untuk selanjutnya kami ungkap pihak yang turut terlibat secara rinci yang totalnya mencapai 70 orang," kata Febri, Jumat (10/3).
Kasus ini baru menjerat dua orang yakni bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Irman dan bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.
Febri menyebut keduanya mempunyai banyak keterkaitan dengan pihak dari DPR dalam kasus ini. "Relasi dari kedua terdakwa ini yang paling signifikan adalah relasinya dengan para pimpinan fraksi, pimpinan banggar, maupun pimpinan lain di komisi II. Diduga yang berperan adalah pihak dan simpul utama di sana," ujar dia.
Febri mengakui bahwa dalam kasus ini melibatkan banyak nama. Besaran uang yang diterima pun berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing orang. "Dalam kasus korupsi itu kan pelakunya banyak, dari aktor utama hingga pelaksana. Mulai dari yang menerima Rp 20 juta hingga jutaan dolar," ujar dia.
Ia pun memastikan pengusutan perkara ini tidak akan berhenti pada dua orang terdakwa saja. "Prinsipnya kami akan kembangkan ini. Tak berhenti di dua terdakwa," ujar Febri.
Pada surat dakwaan Irman dan Sugiharto, terdapat sejumlah nama yang disebutkan oleh penuntut umum pada KPK. Berikut nama-nama yang disebut jaksa KPK sebagai penerima suap dalam proses pembahasan anggaran e-KTP:
Setya Novanto Rp 574 miliar
Anas Urbaningrum dan Nazaruddin Rp 574 miliar
Gamawan Fauzi USD 4,5 juta dan Rp 50 juta
Diah Anggraini USD 2,7 juta dan Rp 22,5 juta
Drajat Wisnu Setyawan USD 615 ribu dan Rp 25 juta
Melcias Marchus Mekeng USD 1,4 juta
Olly Dondokambey USD 1,2 juta
Tamsil Linrung USD 700 ribu
Mirwan Amir USD 1,2 juta
Arief Wibowo USD 108 ribu
Chaeruman Harahap USD 584 ribu
Ganjar Pranowo USD 520 ribu
Agun Gunandjar Sudarsa USD 1,047 juta
Mustoko Weni USD 408 ribu
Ignatius Mulyono USD 258 ribu
Taufik Effendi USD 103 ribu
Tegus Djuwarno USD 167 ribu
Miryam S Haryani USD 23 ribu
Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini masing-masing USD 37 ribu
Markus Nari Rp 4 miliar dan USD 13 ribu
Yasona Laoly USD 84 ribu
Khatibul Umam Wiranu USD 400 ribu
M Jafar Hapsah USD 100 ribu
Ade Komarudin USD 100 ribu
Marzuki Alie Rp 20 miliar
Pihak-pihak yang telah disebut dalam dakwaan KPK kompak membantah telah menerima uang terkait proyek e-KTP. Namun, perlu diketahui, 14 nama yang disebut oleh jaksa telah mengembalikan uang ke KPK.

https://kumparan.com/ikhwanul-habibi/70-nama-di-pusaran-kasus-korupsi-e-ktp


ICW: KPK Harus Ungkap Keterlibatan Seluruh Nama dalam Kasus Korupsi E-KTP

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik ( e-KTP) secara menyeluruh.
Menurut Emerson, KPK harus berani menelusuri dan menginvestigasi keterlibatan nama-nama besar yang disebut dalam dakwaan kasuskorupsi e-KTP.

"Bicara soal kasus korupsi e-KTP kita tidak hanya bicara soal bongkar, tapi juga harus tuntas. Tidak hanya berhenti di dakwaan. Nama-nama yang disebut juga harus diperiksa," ujar Emerson dalam diskusi Perspektif Indonesia bertema 'KTP Diurus KPK', di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3/2017).

Emerson menuturkan, berdasarkan catatan ICW pada awal 2017, terdapat 185 nama yang diduga terlibat dalam kasus korupsi dan perlu didalami. Nama-nama tersebut tercantum dalam putusan pengadilan atas kasus korupsi yang berkekuatan hukum tetap.
Namun, sebagian besar dari nama-nama itu tidak ditelusuri secara tuntas oleh KPK.

Dia pun mencontohkan kasus suap proyek pembangunan jalan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang melibatkan mantan anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti.
Menurut Emerson, dalam kasus tersebut ditengarai banyak anggota Komisi V DPR RI ikut terlibat, tetapi yang sudah diproses oleh KPK tidak sampai sepuluh orang.

"Nah di kasus korupsi e-KTP kita berharap pimpinan KPK tidak sekadar bicara akan sebut nama besar tapi hasilnya bisa dibuktikan dalam persidangan. Ini tantangan bagi KPK," ucapnya.

"Nama-nama di luar dua terdakwa mantan pejabat yang terlibat itu bisa diproses oleh KPK," kata Emerson.

Menurut KPK, Kasus korupsi e-KTP menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun dan melibatkan nama-nama termasuk anggota DPR RI periode lalu, yang disebut dalam dakwaan.

Mantan Ketua DPR Marzuki Alie dan bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum disebut mendapat masing-masing Rp20 miliar dari dugaan korupsi proyek e-KTP. Marzuki dan Anas bersama Chaeruman Harahap juga mendapat Rp20 miliar.


Nama Setya Novanto juga disebut ikut mengarahkan dan memenangkan perusahaan dalam proyek pengadaan e-KTP.

Selain Setya, nama lain yang disebut jaksa KPK adalah Ketua Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), Sekretaris Jenderal Kemdagri Diah Anggaraini, dan Ketua Panitia Pengadaan barang atau jasa di lingkungan Dirjen Dukcapil Kemdagri pada 2011 Drajat Wisnu Setyawan.

http://nasional.kompas.com/read/2017/03/11/14074861/icw.kpk.harus.ungkap.keterlibatan.seluruh.nama.dalam.kasus.korupsi.e-ktp

51 Anggota Komisi II DPR 2009-2014 Dapat Kucuran Dana Proyek E-KTP

JAKARTA, KOMPAS.com - Dakwaan dugaan korupsi megaproyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk ( e-KTP), sejumlah anggota Komisi II DPR RI disebut menerima fee dari proyek tersebut.
Ada 14 anggota Komisi II yang mendapatkan jatah dari proyek itu dengan jumlah beragam.

Adapun, anggota Komisi II periode 2009-2014 yang disebut dalam dakwaan, yaitu:

1. Taufik Effendi menerima 103.000 dollar AS; 
2. Khatibul Umam Wiranu menerima 400.000 dollar AS; 
3. Chaeruman Harahap menerima 584.000 dollar AS. Ia menggantikan Baharuddin Napitululu sebagai Ketua Komisi II; 
4. Agun Gunanjar Sudarsa (sekaligus anggota Banggar DPR) menerima 1.047.000 dollar AS; 
5. Ganjar Pranowo menerima 520.000 dollar AS;
6. Yassona H. Laoly menerima 84.000 dollar AS; 
7. Arief Wibowo menerima 108.000 dollar AS; 
8. Teguh Juwarno menerima 167.000 dollar AS; 
9. Nu'man Abdul Hakim menerima 37.000 doar AS; 
10. Abdul Malik Haramaen menerima 37.000 dollar AS; 
11. Jamal Azis menerima 37.000 dollar AS;
12. Miryam S Haryani menerima 23.000 dollar AS; 
13. Taufiq Hidayat menerima 103.000 dollar AS; 
14. Mustoko Weni Murdi menerima 408.000 dollar AS.
Selain itu, ada 37 anggota Komisi II lain yang menerima uang masing-masing 13.000 hingga 18.000 dollar AS dengan total 556.000 dollar AS.

Namun, dalam dakwaan tidak disebutkan siapa saja 37 orang lainnya tersebut.

Sementara itu, diketahui jumlah anggota Komisi II DPR RI periode 2009-2014 sebanyak 50 orang ditambah satu ketua.

Selama penyidikan kasus ini, setidaknya ada 23 anggota DPR yang dipanggil untuk menjalani pemeriksaan.

Dari jumlah tersebut, hanya 15 anggota DPR yang memenuhi panggilan penyidik KPK.

KPK menerima penyerahan uang senilai Rp 30 miliar dari 14 orang, yang sebagiannya merupakan anggota DPR RI yang mendapatkan uang dari proyek e-KTP.

KPK juga menerima penyerahan uang sekitar Rp 220 miliar dari pihak korporasi. Uang tersebut berasal dari 5 perusahaan dan 1 konsorsium.
Kasus korupsi e-KTP menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun.
Proyek pengadaan e-KTP dimenangkan konsorsium Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI).

Konsorsium itu terdiri atas Perum PNRI, PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo persero), PT LEN Industri (persero), PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra.

Nilai proyek multiyears pengadaan e-KTP lebih dari Rp 6 triliun.
Namun, hanya 51 persen anggaran yang digunakan untuk proyek e-KTP. Sementara sisanya dibagikan untuk anggota DPR hingga perusahaan.


Proyek E-KTP Terancam Mangkrak


TEMPO.COJakarta -Kelangsungan proyek kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan atau biasa disebut e-KTP terancam. PT Biomorf Lone Indonesia, yang merupakan penyedia solusi sistem manajemen data e-KTP, mengklaim belum dibayar dan menolak melanjutkan layanan. “Kami meminta pemerintah membayar sebelum kami melanjutkan layanan,” kata Presiden Direktur Biomorf, Kevin Johnson, kepada Tempo, Selasa 28 Februari 2017.

Kevin mengatakan jumlah tagihan perusahaannya kepada pemerintah mencapai Rp 540 miliar. Angka ini merupakan biaya yang timbul dari sejumlah perubahan spesifikasi dan layanan tambahan pada 2014 dan 2015. “Kontrak kami dengan konsorsium hanya sampai 2012 dengan masa garansi satu tahun,” ujarnya.

Konsorsium yang dimaksudkan Kevin adalah pelaksana proyek e-KTP yang terdiri atas Perum Percetakan Negara RI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sandipala Arthaputra, dan PT Quadra Solutions. Biomorf Lone—jaringan dari Biomorf di Amerika Serikat dan India—digandeng sebagai subkontraktor setelah konsorsium memenangi tender e-KTP senilai Rp 5,9 triliun pada 2011.

Belakangan Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus megakorupsi berupa penggelembungan biaya dalam proyek tersebut dengan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Meski baru menetapkan dua orang tersangka bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, KPK mensinyalir uang rasuah juga mengalir ke Dewan Perwakilan Rakyat, yang ikut mengegolkan anggaran. Penyidik telah menyita duit Rp 250 miliar yang sebagian merupakan pengembalian dana dari sejumlah pihak terlibat, seperti anggota DPR, pelaksana proyek, dan pejabat Kementerian Dalam Negeri. (Koran Tempo edisi 27-28 Februari 2017 atau bacaKPK Sita Rp 250 Miliar Duit E-KTP)

Di tengah pengusutan korupsi, proyek e-KTP tak kunjung rampung. Proses perekaman e-KTP berhenti sejak akhir tahun lalu dengan alasan kehabisan blanko kartu. Lelang pengadaan blanko juga dibatalkan tiga kali dengan alasan tak ada perusahaan yang memenuhi persyaratan teknis.

Namun sumber Tempo mengungkapkan bahwa persoalannya bukan semata kehabisan blanko, melainkan pemerintah tersandera tagihan pembayaran dari Biomorf. “Perusahaan itu menguasai kunci ke dalam sistem. Mereka tak mau membuka jika pemerintah tak membayar tagihan,” kata dia.

Menurut Kevin, Biomorf telah membagi sebagian kode sumber e-KTP kepada Kementerian Dalam Negeri. Namun dia membenarkan bahwa perseroan masih menguasai sebagian lainnya, termasuk kata kunci ke dalam server. “Kalau sekarang ada yang merekam data di kelurahan, sistemnya tak akan bisa mengecek ada data yang sama atau tidak,” kata Kevin. Akibatnya, perekaman berhenti di luar sistem.

Baca juga: Megakorupsi E-KTP Segera Disidangkan

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Zudan, membenarkan bahwa Biomorf pernah mengirim surat perihal tunggakan pembayaran proyek. Namun dia menolak tudingan pemerintah menunggak karena dana e-KTP telah dibayarkan kepada konsorsium. “Kementerian tak pernah menandatangani kontrak dengan Biomorf,” ujarnya. Dia juga membantah proyek e-KTP berhenti. “Tinggal menunggu blanko.”

Ketua Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja, melihat persoalan yang lebih besar: keamanan data e-KTP. Seluruh informasi tentang warga negara Indonesia, kata dia, seharusnya dilindungi oleh negara. Pernyataan Biomorf bahwa mereka masih menguasai kode sumber sistem e-KTP membuat Ardi khawatir. “Apa jaminannya bahwa kode dan data di dalam sistem belum digandakan oleh pihak ketiga?” kata Ardi, yang menilai proyek e-KTP sejak awal tidak dilengkapi jaminan keamanan data.


AGOENG WIJAYA
https://www.tempo.co/read/fokus/2017/03/01/3452/proyek-e-ktp-terancam-mangkrak