Pages

Sunday 4 March 2012

Respon Umat Islam di Indonesia Atas Keruntuhan Khilafah Islamiyah

                                           Foto : Kemal attaturk

Oleh Septian Anto Waginugroho*
Pada 28 Rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924, Kemal at-Taturk melalui Majelis Nasional Turki menetapkan penghapusan Khilafah dan pengusiran Khalifah saat itu sekaligus menjadi yang terakhir, Abdul Majid II, ke luar Turki. Dengan demikian berakhirlah sistem Khilafah yang selama ini menyertai umat Islam. Berita tentang penghapusan dan pengusiran yang dilakukan oleh Kemal Ataturk ini segera menyebar ke luar Turki dan mengejutkan dunia Islam. Kemudian umat Islam di berbagai belahan dunia memberikan respon dalam berbagai bentuk dan saat itu muncul upaya agar Khilafah dapat tegak kembali. [1]

Pada dasarnya penghapusan Khilafah ini merupakan persoalan bagi umat Islam di seluruh dunia karena Khilafah merupakan bagian dari keislaman mereka. Selain itu selama ini Khilafah telah berdiri bersama umat Islam berabad-abad lamanya sehingga Khilafah telah menjadi bagian sejarah perjalanan hidup mereka. Tentang hubungan antara umat Islam dan Khilafah serta sebab persoalan penghapusan ini mendatangkan respon, Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, seorang Guru Besar Jurusan Sejarah Islam Universitas Kairo, di dalam bukunya yang berjudul al-Islam wa al-Khilafah fi al-Ashr al-Hadits menjelaskan,
sesungguhnya Khilafah ini bukan milik Turki saja melainkan milik dunia Islam seluruhnya. Ia adalah sebagian dari warisan umat Islam, peninggalan sejarah dan lambang persatuan mereka. Khilafah merupakan pimpinan spritual bangsa-bangsa Islam di segenap penjuru bumi. Khilafah ini telah berlangsung lebih dari seribu tiga ratus tahun.
Yaitu sejak umat Islam mengadakan rapat untuk memilih Abu Bakar Shiddiq (Sahabat Nabi) sebagai pengganti Rasulullah Muhammad saw. Beliau itulah sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam, diikuti oleh Khalifah kedua al-Farq Umar bin Khaththab, begitulah seterusnya silih berganti sepanjang masa, dalam berbagai dinasti sehingga berakhir pada abad keduapuluh ini. Oleh karena itu, wajar jika umat Islam memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal Khilafah ini dan memikirkan akibatnya, serta berpikir apa yang akan terjadi kelak di masa mendatang. [2]
Sebab begitu besar pengaruh keberadaan Khilafah bagi umat Islam maka berita keruntuhan Khilafah ini mendapatkan respon dari dunia Islam dan muncul upaya untuk menegakkan Khilafah kembali. Beberapa saat setelah diruntuhkan, ide untuk menegakan kembali Khilafah langsung bergulir dan terus diperbincangkan. Di beberapa tempat ide ini diperbincangkan dalam pertemuan-pertemuan besar.

Pada Maret 1924 dibawah pimpinan Syaikh al-Azhar para ulama menyelenggarakan pertemuan di Kairo. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa keberadaan Khilafah yang memimpin umat Islam tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah keharusan. Mereka juga berpendapat kedudukan Abdul Majid sebagai Khalifah sudah gugur setelah dia diusir dari Turki. Oleh sebab itu harus ada pengganti Khalifah selanjutnya. Untuk membahas siapa yang layak menjadi Khalifah, mereka memutuskan akan mengadakan Muktamar di Kairo pada Maret 1925 dengan mengundang wakil-wakil dari umat Islam di seluruh dunia.[3]

Hal serupa juga dilakukan oleh ulama di Hijaz. Pada April 1924 di Makkah, Syarif Husein yang menjadi Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari sembilan sayid dan sembilan belas perwakilan dari daerah lain termasuk dua orang perwakilan dari Jawa. Dewan Khilafah ini dibentuk sebagai upaya untuk menegakkan kembali jabatan Khalifah. Namun Dewan Khilafah tidak berumur panjang karena pada tahun yang sama Syarif Husein lengser dari jabatannya. [4]
Di Indonesia pun berita penghapusan Khilafah telah sampai dan mendapat respon dari ulama dan tokoh pergerakan Islam pada saat itu. Pada Mei 1924, dalam kongres Al-Islam II yang diselenggarakan oleh Sarekat Islam dan Muhammaddiyah, persoalan tentang Khilafah menjadi topik pembicaraan kongres. Dalam kongres yang diketuai Haji Agus Salim ini diputuskan bahwa untuk meningkatkan persatuan umat Islam maka kongres harus ikut aktif dalam usaha menyelesaikan persoalan Khalifah yang menyangkut kepentingan seluruh umat Islam. [5]
Keputusan itu semakin dipertegas dengan lahirnya keputusan Kongres Nasional Central Sarekat Islam pada Agustus 1924 di Surabaya. Seperti yang diberitakan surat kabar Bandera Islam, kongres memutuskan untuk terlibat dalam perjuangan Khilafah. Umat Islam di Indonesia harus mengirimkan utusannya ke kongres di Kairo.
“…hendak membantoe dengan segala kekoeatan boedi dan tenaganja semoea ichtiar jang menoedjoe maksoed akan mengirimkan oetoesannja oemmat Islam di Hindia-Timoer, boeat menghadiri Congres Igama Islam, jang diadakan di Cairo goena membitjarakan dan memoetoeskan perkara Chilafat Islam.” [6]

Jauh sebelum Turki Usmani runtuh, permasalahan Khilafah telah menarik perhatian umat Islam di Indonesia. Hingga kemudian pada 3 Maret 1924 muncullah persoalan yang menyedot perhatian dunia tersebut. Secara umum keruntuhan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam [7], yang mulai berfikir tentang pembentukan Khilafah baru. Menurut Deliar Noer, Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. [8]

Saat gagasan penegakan Khilafah muncul, masyarakat Islam Indonesia tengah berada dalam zaman pergerakan nasional. Saat itu telah banyak bermunculan organisasi-organisasi pergerakan Islam seperti Sarekat Islam, al-Irsyad, Muhammadiyah dan menyusul kemudian Nahdlatul Ulama. Organisasi ini muncul karena dorongan aspirasi mereka untuk memajukan Islam dan menentang penjajahan Belanda. Berbeda dengan generasi sebelum mereka yang menempuh perjuangan secara fisik dan bersifat kedaerahan, pada zaman ini bangsa Indonesia berjuang melalui organisasi-organisasi modern. Cara-cara yang mengedepankan kekuatan intelektual menjadi ciri pergerakan mereka. Pada zaman itu mereka telah terbiasa menggunakan langkah-langkah seperti pembentukan komite-komite, penyelenggaran kongres dan pertemuan serta pengadaan sarana pendidikan, untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Perjuangan mereka semakin disempurnakan dengan usaha masif penerbitan surat kabar yang menjadi organ bagi organisasi mereka. [9]

Dengan cara-cara seperti itu juga mereka memperjuangkan Khilafah. Pembentukan komite, penyelenggaraan kongres dan pertemuan, serta penerbitan surat kabar menjadi cara yang ditempuh untuk memperjuangan Khilafah pada zaman itu. Saat berita keruntuhan Khilafah sampai di Indonesia, mereka meresponnya dan ikut terlibat dalam perjuangan Khilafah. Ditambah pula perjuangan mereka ini memiliki hubungan dengan perjuangan Khilafah yang dilakukan oleh umat Islam di negeri lain.

Tersiar kabar akan diselenggarakan sebuah kongres dunia Islam di Kairo dengan mengundang perwakilan dari seluruh umat Islam di dunia. Kongres yang dimaksudkan untuk mencari pengganti khalifah ini akan diselenggarakan pada Maret 1925. Undangan kongres ini pun dikirim ke Indonesia. [10] Sebagai sambutan atas undangan ini pada tanggal pada tanggal 4-5 Oktober 1924 diadakan sebuah pertemuan di Surabaya yang dihadiri para ulama dan kaum pergerakan Islam dari berbagai organisasi. Dihasilkan kesepakatan dalam pertemuan ini bahwa wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Umat Islam di Indonesia harus terlibat dalam kongres di Kairo dengan mengirimkan utusan ke kongres tersebut. Untuk maksud tersebut maka dibentuk sebuah badan khusus bagi perjuangan Khilafah di Indonesia yang bernama Comite-Chilafat dengan ketua Wondosoedirdjo dari Sarekat Islam dan wakil ketua K. H. Abdul Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi yang kemudian menjadi salah seorang pendiri NU. [11]


 Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan diselenggarakan Kongres al-Islam Luar Biasa pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya. Kongres ini dihadiri oleh para ulama dan 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang. Ada tiga keputusan yang dihasilkan dari kongres ini. Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Kedua, disepakati akan terus didirikan Comite-Chilafaat di seluruh Hindia-Timur (Indonesia). Dan terakhir, diputuskan akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres di Kairo dengan enam butir mandat yang telah disepakati. Tiga orang utusan tersebut adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachroddin dari Muhammadiyah dan K. H. A. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi. Namun utusan ini gagal berangkat disebabkan kongres di Kairo ditunda. [12]
Aspirasi umat Islam di Indonesia Pergerakan Khilafah ini terus menyebar di Indonesia. Kesadaran tentang urgensi perjuangan Khilafah terus diopinikan. Hal itu diupayakan dengan membentuk cabang-cabang Comite-Chilafaat di berbagai wilayah di Indonesia [13] dan dengan diadakannya pertemuan-pertemuan yang membahas Khilafah di beberapa kota. [14]
*Penulis Adalah Mahasiswa Sejarah UI dan Aktivis Forum Remaja Mesjid UI
Catatan Kaki
[1] Untuk uraian berbagai respon atas keruntuhan Khilafah, lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 83-6.

[2] Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, Islam dan Khilafah di Zaman Modern, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), hlm. 45.

[3] Ibid., hlm. 50-1.

[4] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 86.

[5] Mukayat, Haji Agus Salim Karya & Pengabdiannya, (Jakarta: Depdikbud, 1985), hlm. 39; A.K. Pringgodigdo SH., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 37.

[6] Bandera Islam, 16 Oktober 1924.

[7] Dalam surat kabar harian Neratja edisi 26, 27, 29, 31 Maret 1924, K. H. Agus Salim menulis sebuah artikel yang berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam. Artikel ini mengambarkan kekalutan dunia Islam atas keruntuhan Khilafah.

[8]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 242.

[9] Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996) dan A.K. Pringgodigdo SH., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986).

[10] Aqib Suminto, Op.Cit., hlm. 86.

[11] Deliar Noer, Op.Cit, hlm. 242. Reportase tentang pertemuan ulama dan kaum pergerakan pada 4-5 Oktober di Surabaya banyak dimuat dalam surat kabar yang terbit sezaman. Menurut harian Hindia Baroe pimpinan K. H. Agus Salim, sepanjang sejarah umat Islam di Indonesia, pertemuan ini merupakan kali pertamanya di Indonesia diadakan sebuah pertemuan yang khusus membahas tentang Khilafah, lihat Hindia Baroe, 16, 17, 18 Oktober 1924; dan Bandera Islam, 23, 30 Oktober 1924.

[12] Lihat Deliar Noer, OpCit., hlm. 242; dan Aqib Suminto, Op.Cit., hlm. 86. Tiga keputusan Kongres ini, lihat “Persidangan Moelia Loear Biasa Dari Pada Congres Al-Islam” dalam Bandera Islam, 1 Januari 1925. Penundaan kongres Kairo disebabakan oleh tiga alasan, yakni: 1. Masih berkecambuknya perang di Hijaz; 2. Belum jelasnya beberapa negeri Islam atas seluk beluk kongres; dan 3. Kesibukan Mesir dalam menghadapi pemilihan umum, lihat Bandera Islam, 22 Januari 1925.

[13] Cabang dari Komite Khilafah ini antara lain: Sub-comite Chilafaat Djokjakarta, Sub-comite Chilafaat Pekalongan, Sub-comite Chilafaat Tjirebon, Sub-comite Chilafaat Pasoeroean, Sub-comite Chilafaat Buitenzorg, Sub-comite Chilafaat Bandjermasin dan Sub-comite Chilafaat Tjiandjoer, lihat Bandera Islam, 1 Januari 1925.

[14] Harian Hindia Baroe, 4 Desember 1924, memberitakan tentang pertemuan Sub-comite Chilafaat Tjiandjoer yang dihadiri oleh 3000 orang dari berbagai kota seperti Cianjur dan Sukabumi, pertemuan ini membahas tentang perjuangan Khilafah. Selain itu Sub-comite Tjiandjoer menyumbangkan dana kepada Comite-Chilafaat di Surabaya, lihat Bandera Islam, 29 Januari 1925; Pada 15 Januari 1925, surat kabar Bandera Islam memberitakan tentang pertemuan S.I. Majalengka. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 350 orang ini dibahas tentang pergerakan Khilafah dan keputusan Kongres Al-Islam di Surabaya.

eramuslim.com