Pages

Sunday 13 March 2011

Ze Akan Ditembak!



Pembantaian Koruptor di China



Ia akan mati ditembak!

Ya, perasaan itu bagai bayangan yang menyertai Ze ke mana pun ia pergi. Melekat dibenaknya sejak ia kecil hingga berusia delapan belas tahun kini. Mati ditembak…, Ze tak dapat mengira seperti apa pedihnya? Apakah ia juga akan menggelepar-gelepar sebelum mati, seperti Manuel tetangganya, kala ditikam berkali-kali oleh anggota Besi Merah Putih yang memergokinya minggu lalu itu saat turun dari Hatubute? Atau mungkinkah ia tak sempat mengeluarkan sepatah kata pun seperti Avo pai yang disembelih dan kepalanya digantung pada sebuah galah di dekat rumahnya oleh Fretelin?

Setiap tiba pada halaman 268 dari buku Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan yang ditulis oleh Bilver Singh, Ze akan kembali melihat foto abadi itu. Foto kepala seorang lelaki yang dipancangkan di ujung galah, pada Agustus 1975. Itu Avo pai.

Ze tak pernah tahu wajah Avo pai sebelumnya. Beberapa bulan yang lalu Guru Abdullah memberikan buku tersebut padanya. Suatu hari Ze melihat Amaa memegang buku tebal berwarna biru itu sambil menjerit histeris. Ze langsung memeluk Amaa. Air mata perempuan yang selalu menghabiskan waktu dengan membuat tais itu berderai, jatuh berkejaran, membasahi kaos lusuh yang dikenakan putra tunggalnya. Amaa pingsan. Perlu waktu beberapa jam kemudian sebelum Amaa sadar dan terbata-bata mengatakan semuanya. Lelaki dalam gambar itu memang Avo pai! Dan Ze seperti ditusuk-tusuk oleh senjata tajam yang bernama kenyataan. Jauh lebih dalam dari sebelum-sebelumnya.

“Katakan padaku, Ze! Kau pro kemerdekaan atau pro otonomi?“ tanya Jose, sahabatnya, beberapa waktu setelah Presiden Habibie mengumumkan mengenai kemungkinan referendum. “Mai, Ze, kau berpihak pada siapa?“

Senja itu Ze cuma diam. Sesekali jari-jarinya memegangi rambutnya yang keriting-keriting kecil. Sesaat lagi tangannya sudah mengelupasi kulit bibir tebalnya yang mengering. Matanya memandang ke arah seorang ibu tua penjual jeruk kisar yang berjualan sambil mengunyah sirih, di pinggiran pantai sepanjang Lecidere. Lalu tatapannya berpindah pada para penjaja jagung atau pedagang ikan bakar yang hilir mudik. Indah. Bagi Ze, laut yang membingkai bumi Dili terindah di dunia.

“Ze?“

Ze masih diam. Selama ini Jose Soares adalah temannya yang terdekat. Mereka pernah duduk sebangku di SMU Dili dan mempunyai cita-cita yang sama: jadi pengarang terkenal.

“Apa bedanya aku pro atau tidak pada kelompok-kelompok itu?“ tanya Ze pelan.

“Entahlah. Aku juga tak tahu. Tetapi mungkin saja suatu saat nanti semua itu akan mempengaruhi persahabatan kita,“ kata Jose datar.

Ze berhenti mengelupas bibirnya. Perih. Bau darah. Dipandanginya Jose beberapa saat.

“Oh, obrigado, Jose,“ kata Ze sinis. “Peduli apa dengan semua itu. Aku hanya menginginkan…,“ Ze menengadah, membayangkan patung raksasa Yesus Raja, terse- nyum padanya, “Kebenaran dan keadilan!“ lanjutnya setengah berteriak sambil mengepalkan tangan.

Dan kini, setelah kerusuhan demi kerusuhan mengepung Lorosae, Ze selalu bisa mengenali bau percikan darah dan mesiu pada setiap jalan di kota Dili. Dan ia masih merasakan hal itu: ia akan mati ditembak! Ditembak? Seperti apakah nyerinya?

“Kamu murid yang pintar, Ze. Bapak berat meninggalkanmu. Tetapi, mampukah Bapak menghadapi semuanya lagi?“

Ze tercenung dengan rahang mengeras. Matanya berkaca-kaca dan kerongkongannya tersekat. Guru Abdullah, guru bahasa dan sejarahnya itu, hanyalah satu dari ratusan pendatang yang terintimidasi di sini.

Kasihan, pikir Ze. Guru Abdullah datang jauh-jauh dari Bugis, mengajar tanpa pamrih, namun sejak awal selalu diteror. Guru Abdullah beberapa kali dikeroyok entah oleh siapa. Pernah juga ditusuk oleh seorang murid yang ditegurnya. Istrinya yang ramah hampir diperkosa dan rumah mereka bahkan dibakar. Tuhan, apa yang terjadi di tanah tercinta ini? Ze mendesah dalam resah.

“Kau, Ze, yang membuatku berat meninggalkan tanah ini. Ah, kejar terus cita-citamu, Ze! Kau ingin jadi pengarang terkenal kan? Ingat, kau harus hidup dalam kebenaran! Ya Allah, Ya Rabbi, semoga Dia selalu melindungimu, nak! Jangan lupa, tulis surat buat Bapak, ya....“

Ze mencium tangan Guru Abdullah, menempelkan tangan itu sesaat pada pipinya yang cekung dan mendapatkan lara menyergap dirinya. Ia terisak. Saat sosok itu pergi, Ze tahu ia tak akan pernah mendapatkan guru sebaik itu lagi. Tak akan pernah…pun sampai ia tertembak nanti.

DOR!

Suara itu! Tembakan itu memecah pagi. Ze terkesiap. Perlahan ia melongokkan kepala melewati jendela kayu rumahnya. Puluhan orang berlarian, dan kemudian berkumpul di sebuah titik. Mereka membawa berbagai senjata, meneriakkan kata-kata “Vinceremos!“ Juga menyanyikan lagu Patrio ao Morte! Tak lama Ze melihat puluhan orang lain turun dari atas truk. Mereka mengenakan ikat kepala merah putih, membawa senjata serta berteriak-teriak pula: "Mati hidup untuk integrasi! Mati hidup untuk Merah Putih!"

Dan…Ze ingin menjerit. Lidahnya kaku. Kelu. Orang-orang itu berbaku habaok! Ze merasa anggota-anggota tubuhnya saling menyerang! Mencakar satu sama lain! Ze menggigil. Kepalanya seperti digigit ribuan semut rangrang dan belatung.

“Ze!“ teriak Amaa histeris. “Tutup jendelanya! Cepat!“

Ze diam. Menyaksikan orang-orang rebah ke tanah dengan tubuh bolong dan tercabik. Di mata Ze, darah yang menggenang, menjelma deburan ombak Laut Timor. Ombak merah! Lalu untuk apa patung Yesus Raja yang termegah di dunia ada di Lorosae, bila kasih lenyap dari sini? Gigi-gigi Ze beradu. Hidungnya yang lebar bergerak-gerak.

“Sudah kuduga, kampanye akan rusuh!“ Amaa yang tampak sepuluh tahun lebih tua dari empat puluh tahun usianya itu tergesa-gesa menutup jendela kayu dan mengunci pintu. “Kita harus mengungsi, Ze. Mungkin ke Atambua. Orang-orang bilang besok atau lusa ada truk tentara yang bisa mengangkut kita!“

DOR!

Ze tersentak lagi.

“Jangan ke mana-mana? Kau dengar, Ze? Aku tak ingin kau seperti Apaa-mu yang hilang begitu saja,“ suara Amaa bergetar.

Ze menelan ludah. Tenggorokannya perih. Apaa, kira-kira di mana lelaki itu sekarang? Pada suatu hari, saat usianya sepuluh tahun, Apaa pamit. Katanya akan menawarkan udang-udang karang yang dihiasnya kepada seorang temannya di kota. Dan lelaki yang punya banyak sahabat itu tak pernah kembali hingga kini.

“Ia pasti diculik Falintil!“

“Tidak! Kurasa ia diculik orang-orang pro integrasi!“

“Aa, mungkin ia sudah ditembak ABRI!“

Suara-suara itu seakan menggema kembali di telinga Ze. Suara orang-orang yang memandangnya iba, saat usianya baru sepuluh tahun. Dan sejak saat itu pula Ze kerap melihat Amaa membuat tais sambil menangis.

Waktu merangkak lambat. Kegaduhan di luar mulai reda. Amaa terduduk di ujung ruangan. Mulutnya komat-komit. Ze beranjak perlahan dan mengintip dari celah-celah jendela kayu yang rapuh. Semua bagai mati. Hanya ceceran darah segar dan asap sisa-sisa pembakaran yang mengepul hidup.
***

“Ze, siapa pun yang menang, kita harus mengungsi ke Atambua,“ suara Amaa lirih.

Ze masih memutar-mutar gelombang radio kecil tua di tangannya. Pagi ini hasil jajak pendapat diumumkan. Didekatinya lagi radio itu ke telinganya. Terlalu berisik. Ia tak dapat mendengar apa pun.

“Merdeka! Merdeka!“

“Ini kemenangan rakyat Maubere!“

“Hidup Xanana dan Ramos Horta!“

“Viva CNRT!“

“Hidup Uskup Bello!“

Suara-suara itu terdengar dari jalanan di depan rumahnya. Ze bangkit dari duduk dan membuka pintu. Ia melihat iring-iringan kendaraan dan para pejalan kaki mengacung-acungkan jari membentuk huruf V. Vinceremos! Timor-Timur sudah tak lagi menjadi propinsi Indonesia!

“Kita harus mengungsi!“ kata Amaa lagi, sambil memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper kecil. Tak sedikitpun kegembiraan tampak pada wajahnya. “Kau tahu, Ze, harusnya Lorosae dibelah dua! Sebentar lagi pasti terjadi keributan. Dan aku tak ingin melihat darah tumpah di tanah kelahiranku ini.“

Ze menarik napas panjang. Sama seperti Amaa, ia tak tahu harus gembira atau sedih. Ia hanya merasakan sesuatu yang tak enak menyelusup dalam sanubarinya. Sungguh, seperti yang dikatakannya pada Jose, ia tak peduli semua itu! Ia, juga orang seperti Amaa dan Apaa hanya menginginkan kebenaran, keadilan dan kedamaian. Bukan perpecahan, kepedihan atau kekacauan. Lalu kalau sudah begini, bagaimana dengan saudara-saudara yang pro-otonomi?

Ze memang kecewa pada Indonesia. Kadangkala perasaan itu demikian membuncah dalam dadanya. Ia akui, Indonesia sudah berbuat banyak untuk Lorosae. Timor-Timur bahkan terkesan menjadi anak emas di antara propinsi lainnya. Pembangunan di sini juga pesat. Tetapi…, mengapa militer ada di mana-mana? Dan dengan alasan memerangi gerakan separatis mereka tak jarang membunuhi orang-orang yang tak bersalah. Ze juga sering mendengar orang-orang yang ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Padahal kesalahan mereka tak jelas. Hal lain yang mengecewakan Ze, korupsi merajalela di mana-mana. Yang paling menyakitkan itu tak hanya dilakukan oleh orang-orang Jakarta, tetapi juga orang-orang Timtim! Andai saja Indonesia lebih adil sejak dahulu. Dan Ze melihat secercah harapan itu saat didengungkannya reformasi dan otonomi luas! Mengapa tidak? Bukankah banyak teman-teman Ze yang merasa Indonesia adalah denyut nadinya? Jadi, mai, buka lembaran baru!

Namun Ze pun tak benci pada mereka yang menginginkan kemerdekaan, meski ia sendiri tak pernah merasa dijajah. Sejarah Lorosae memang berbeda dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Dan mereka yang menginginkan merdeka berharap dapat hidup lebih baik bila lepas dari Indonesia.

Amaa benar. Seharusnya Lorosae dibelah dua!

Ze memandang Amaa dengan mata berkabut. Perempuan itu sedang memasukkan bungkusan berisi selapan segan ke dalam sebuah kardus kecil. Ah, bagaimana? Bagaimana perasaan perempuan itu bila suatu saat anaknya… mati tertembak? Sungguh, Ze tak dapat membayangkannya!
***

“Mana? Mana truk-truk itu?“ suara Amaa, dua hari kemudian. “Katanya truk-truk itu akan lewat jalan ini…?“

“Haruskah kita pergi, Amaa?“ pelan sekali tanya Ze.

“Tentu saja. Sebentar lagi akan terjadi perang saudara! Aku sudah mendengar hal itu seminggu yang lalu. Kau tahu, Ze, siapa pun bisa menjadi korban. Berpihak atau tidak, kita akan mati bila terus di sini!“

“Aku mencintai tanah ini, semua saudaraku bangsa Timor dan Indonesia!“ suara Ze menggelegar.

Amaa memandangnya aneh.

Lalu tiba-tiba saja Ze berlari keluar rumah. Dicobanya menahan deburan nyeri dalam hatinya. Gagal. Ia terus berlari ke jalan…terus berlari.

“Ze! Ze!“ teriak Amaa. “Fila, Ze!“

“Jangan pergi dulu, Amaa! Aku akan temui orang-orang itu! Jangan pergi dulu!“

Ze terus berlari, hingga suara Amaa yang serak tak lagi didengarnya. Berlari dan terus berlari mendekap nyeri. Di jalan dilihatnya orang-orang tertawa dan menari-nari. Di tempat yang lain, dilihatnya orang-orang menangis dan meraung. Beberapa di antara mereka berlari-lari tanpa arah seperti dirinya.

Ze mempercepat larinya. Ia melihat orang-orang mulai berkelahi. Bentrokan antara orang-orang pro kemerdekaan dan pro integrasi terjadi di mana-mana! Anak-anak dan wanita menjerit ketakutan. Bebatuan melayang di udara. Ze gemetar melihat darah bercipratan di mana-mana. Suara denting senjata tajam, juga tembakan terdengar di udara. Asap membubung tinggi! Rumah-rumah dan mobil-mobil terbakar! Lalu barisan pengungsian mulai terlihat di mana-mana. Anak-anak, bahkan bayi dan perempuan hamil, orang-orangtua…, Ze makin sesak, tetapi ia terus berlari.

“Ami tauk…, ami tauk...“

Ze ternganga. Dihadapannya tampak seorang bocah tiga tahunan menangis. Ze menghampiri. Miris. Bocah manis itu mendekap boneka kumalnya, kian erat. Tangisnya tak juga reda. Sementara di sebelahnya tampak mayat-mayat bergelimpangan.
Mata Ze basah. Digendongnya gadis kecil itu. Dipeluknya kuat-kuat. Bocah itu tertidur karena lelah, saat Ze memberikannya pada seseorang yang baik hati, di barisan pengungsi yang menuju Atambua.

Ze mual. Mual dengan segala kekejaman dan penderitaan. Ia muntah beberapakali. Matanya memerah. Bengkak. Jalan Ze mulai sempoyongan. Ze merasa sebentar lagi kepalanya pecah!

Biar saja semua orang menganggapnya gila: Ia harus bertemu Koffi Annan! Sekjen PBB itu tidak boleh disetir sana sini! Harusnya ia bijak dan membagi dua Lorosae! Baik, pro-kemerdekaan menang. Itu harus diakui! Mereka boleh ambil 70% tanah ini! Tetapi berikan yang 30% pada saudara-saudara pro-otonomi! Ah, bagaima- na mungkin Amaa bisa lebih bijak dari UNAMET yang terkesan memihak serta sekjen PBB itu? Ze merasa ia juga harus bertemu dengan Uskup Bello, Xanana Gusmao, Tavares dan Eurico Guteres!
Tetapi siapakah kamu, Ze? Kamu bukan siapa siapa! Hanya bocah kampung berumur delapan belas tahun! Apa orang-orang itu mau mendengarkanmu? Ze menggigit bibirnya. Bukankah aku putra Lorosae sejati? Aku berhak bicara! Apalagi untuk kebenaran dan keadilan.

Ze mencoba berlari lagi, namun langkahnya kini tertatih-tatih. Kakinya pegal dan luka, sepatunya jebol. Akhirnya ia tersungkur letih di bawah sebuah pohon, entah di mana. Hari semakin senja. Napas Ze tersengal-sengal. Sesaknya menjadi-jadi. Sayup-sayup didengarnya suara genderang ditabuh. Para pahlawan melintas, menyanyikan mars-mars perjuangan di sepanjang jalan yang semakin lengang. Ze membelalakkan matanya. Bayangan dan suara itu sirna.
***

Beberapa minggu kemudian, pada sebuah jalan di kota Dili…, seorang pemuda dikeroroyok sekumpulan pemuda lainnya.

“Siapa dia?“

“Milisi!“

“Tak tahu!“

"Siapa?“

“Aitarak!“

“Mata-mata?“

Bertubi-tubi pukulan melayang dan mendarat di wajah si pemuda.

Tak lama sepasukan tentara kulit putih tiba. INTERFET. Dengan pongah mereka menyeruak kerumunan tersebut. Si pemuda ditendang hingga terjengkang beberapa kali.

“Who are you?“ bentak mereka kasar. Wajah-wajah bengis menatap pemuda yang tubuhnya penuh luka itu. “What did you do?“

“Saya cuma ingin bicara. Ta… nah ini… harus dibagi… dua…, saya tak memihak siapa pun. Ini demi keadilan....“

Sebuah jab mendarat kembali, kali ini di kepala pemuda itu. Dengan kasar kemudian tentara-tentara berkulit putih itu menggelandangnya ke sebuah pohon besar. Beberapa pemuda hitam, berambut keriting-keriting kecil, diantaranya membawa bendera CNRT mengejar dan terus memukuli pemuda itu.

“Hentikan! Hentikan! Oh, Yesus Raja! Itu Ze!“

Dalam nanar, Ze melihat Jose Soares memandangnya tak percaya. “Jose, saudaraku.…“

“Ze!“

"Pukul!“

“Habaok!“

“Tembak!“

“Tidak, itu Ze!“ teriak Jose. “Jangan!“

“Buat apa dia kemari?“

“Dia milisi!“

“Mata-mata!“

“Bukan! Bukan!“ suara Jose lagi. “Dia orang baik! Dia tak memihak siapa pun! Aku mengenalnya!“

Tetapi suara Jose lenyap ditelan berbagai makian dan pukulan, juga langkah para tentara kulit putih yang menyeret Ze seperti menyeret binatang ternak.

“Mana… Koffi Anan?!“ teriak Ze. “Tanah ini harus dibagi… dua…,“ Ze mencoba bangkit. Dikerahkannya tenaganya. “Aku hanya ingin bicara…, biarkan aku menemui mereka….!“ Ze mendorong tentara yang berada didekatnya dan.…

DOR!

Ze merasa seseorang ditembak, namun ia mencoba terus berlari. Ia harus menemui Xanana, Horta dan Bello. Juga Tavares dan Guteres…, ia harus….

DOR!

Ze rebah ke tanah. Ia melihat Amaa dan Apaa menangis. Ia melihat kepala Avo Pai yang melayang-layang di udara, menatapnya penuh haru. Ia mendengar lagi suara Guru Abdullah: Ze, kau harus hidup dalam kebenaran.

Ze mengerang. Matanya basah. Ternyata cuma seperti ini rasanya ditembak. Tidak terlalu sakit, seperti yang selalu dibayangkannya.

Samar, Ze masih dapat melihat wajah sinis dan beringas para tentara kulit putih yang menghampirinya, sambil menghunus senjata. Tahu apa mereka? Ze menyeringai. Tahu apa Australia itu? “Human right…,“ Ze terbatuk-batuk. “Go to hell…!“ Dalam posisi terlentang, Ze mencoba menendang seorang tentara itu.…

DOR!

Darah muncrat.

Pada saat-saat terakhir, Ze merasa Lorosae mendekapnya begitu erat. Ia merasa nyaman. Sangat nyaman. Ze ingin tersenyum, namun ia hanya mampu membelalakkan matanya pada orang-orang itu.

:Aku Ze. Akulah Lorosae!
***


(HTR, Cipayung, 1998)

Daftar Istilah:
avo pai : kakek
amaa : ibu
apaa : ayah
tais : tenun ikat
vinceremos : kemenangan
patrio ao morte: merdeka atau mati, lagu orang-orang pro kemerdekaan
obrigado : terimakasih
Lorosae : tempat matahari terbit, sebutan untuk Timor-Timur.
selapan segan: jagung tumbuk, biasanya merupakan cadangan makanan terakhir
fila : pulang
mai : ayo
aitarak : duri, salah satu barisan pro integrasi

By. Helvy Tiana Rosa

No comments:

Post a Comment