Pages

Tuesday 22 March 2011

CIA DAN FREEPORT INDONESIA

Jubi - Terkadang keterlibatan badan intelejen di negara lain sulit dibuktikan tapi  kemustahilan biasanya menjadi ideologi baku bagi setiap dinas intelijen termasuk Central Intelligence Agency (CIA) di Indonesia. Meski biasanya yang menjadi alasan kehadiran  CIA di Indonesia untuk menciptakan stabilitas  dan perdamaian  tetapi sejatinya adalah menguntungkan kepentingan nasional satu-satunya negara adidaya tersebut.

Atau yang lazimnya dikenal dalam khazanah ilmu poiitik adalah,” tak ada kawan atau lawan yang abadi,yang ada hanya kepentingan nasional yang abadi.”  Jadi jangan kaget ketika ada  kebijakan ekonomi dan undang-undang  jaman Orde Baru yang banyak menguntungkan kepentingan Amerika Serikat.

Prof Dr Hubungan Internasional dari Universitas Princeton Bradley R Simpson mengatakan serangkain undang-undang yang dibuat rezim Soeharto disusun dengan pengaruh kuat Amerika Serikat.  Namun sebagai orang kecil dan masyarakat awam pasti kita akan menjawab tak mungkin itu sudah jaman lalu saat Orde Baru. Sekarang ini sudah berubah kita memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan demokratis? Buktinya Partai Demokrat menang besar dan semua rakyat memilih SBY dan Budiono.


Namun tiba-tiba Gayus bersuara usai sidang dan mengeluarkan testimoni ada keterlibatan CIA di dalam kasus mafia pajak. Apa benar CIA melakukan itu? Lepas dari benar atau tidaknya jika kita menengok sejarah dan peran CIA di Indonesia sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru.

Sejarahwan Bradley R Simpson memberikan contoh kasus Undang-udang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing(PMA). Rangkaian undang-undang dan kehadiran PT Freeport di Papua merupakan langkah awal intervensi pemeritah AS saat Presiden Soeharto memerintah di Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).




Hal ini terungkap dalam buku yang ditulis Prof dr Bradley R Simpson berjudul Economists with Guns : Amerika Serikat,CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru terbitan Gramedia Pustaka Utama. (Kompas, Sabtu, 22 Januari 2011.)
Menyimak pendapat Prof Dr Bradley R Simpson tentang keterlibatan CIA di dalam rezim Orde Baru maka tak heran kalau banyak pihak termasuk warga Papua mulai menuntut perlu menggugat kembali Pepera dan PT Freeport Indonesia. Bayangkan UU Kontrak Karya 1967 dilakukan dua tahun sebelum pelaksanaan Pepera 1969 di Tanah Papua.
Keterlibatan CIA di PT FI dan Pemerintahan Orde Baru pernah ditulis pula oleh Lisa Pease dalam artikelnya JFK, Indonesia dan Freeport di majalah Probe (1996) yang tersimpan di National Archieve, Washiongton DC. Tulisan ini jelas membukakan mata kita bahwa raksasa bisnis asing mampu mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi di Indonesia.

Artikel ini kemudian dikutip kembali dalam Kompas 24 September 2001 berjudul, Freeport Mc Moran, Soekarno dan Rakyat Irian. Lisa Pease secara gamblang menyebutkan bagaimana riwayat Freeport Sulphur yang hancur lebur gara-gara peralihan pemerintahan di Cuba, 1959. Pemerintahan Fidel Castro di Cuba menumbangkan kekuatan rezim Batista, dan setelah berkuasa Fidel Castro menasinalisasikan seluruh perusahaan asing di Cuba termasuk Freeport Shulpur ikut pula terkena imbas.
Beruntung ketika UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing(PMA) disahkan pemerintah Orde Baru pada 1967. Perusahaan asing yang kontraknya ditandatangani oleh mantan Presiden Soeharto adalah Freeport.

Sebelumnya Agustus 1959, Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson bertemu dengan Jan Van Gruisen, Direktur Pelaksana East Borneo Company, perusahaan pertambangan. Forbes Wilson sangat tertarik dengan cerita Gruisen tentang laporan mengenai Gunung Erstberg di Bumi Amungsa di irian Barat.

Laporan Dozy sangat penting karena mengungkapkan tentang kandungan biji tembaga yang terhampar luas di kawasan Gunung Ertsberg atau Gunung Bijih Timur. Mendengar laporan Dozy, sontak Forbes Wilson kaget mendengar laporan tersebut. Wilson bertekad melakukan ekspedisi ke lokasi tanh Papua yang masih menjadi sengketa antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia.

Dalam bukunya yang berjudul The Conquest of Cooper Mountain, ia terperanjat menyaksikan kekayaan bijih tembaga yang  terhampar luas di permukaan tanah. Inilah keajaiban alam yang tak mungkin bisa ditemukan di belahan dunia lain. Proses mineraliasasi terjadi pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut  terdapat sekitar 40 sampai 50 persen bijih besi, dan tiga persen tembaga, serta masih terdapat perak dan emas. Menurut Forbes Wilson, angka tiga persen saja sudah cukup menguntungkan bagi industri tambang.

Alamarhum  Guru Moses Kilangin dalam kisahnya yang termuat dalam bukunya berjuduk Moses Kilangin Uru Me Ki menyebutkan  pada 5 April 1967, pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Pertambangan, Slamet Bratanata dan Perwakilan Freeport menandatangi kontrak karya untuk waktu selama 30 tahun (1967-1997). Sebuah kontrak karya pertama di atas tanah Papua yang masih menjadi sengketa antara pemerintah Belanda dan Indonesia. Bahkan kontrak karya  ini dilakukan sebelum pelaksanaan Pepera 1969. Namun sebelum kontrak karya itu berakhir diperpanjang lagi untuk kontrak karya kedua selama 20 tahun lagi(1997-2017). Bahkan areal yang akan ditambang juga semakin luas.

Forbes  Wilson kemudian melakukan kalkulasi tentang tambang di Erstberg terdapat 13 juta ton bijih tembaga di permukaan tanah dan 14 juta ton di bawah tanah dengan kedalaman 100 meter. Jika untuk  memproses 5.000 ton bijih tembaga per hari dibutuhkan investasi 60 juta dolar AS, dengan rincian biaya produksi 16 sen per pon, sementara harga jual 35 sen per pon, maka dalam tempo tiga tahun saja investasi itu sudah breake event point alias sudah balik modal.

Namun kenyataannya kelak mereka justru lebih tercengang lagi, karena angka deposit bijih tembaga itu ternyata jauh lebih besar dari kalkulasi Wilson. Bahkan dalam buku George A Nealey berjudul Grasberg  menyebutkan saat ini Freeport Mc MoRan merupakan  tambang tembaga yang mempunyai deposit ketiga terbesar di dunia. Sedangkan untuk emas menempati urutan pertama.

Jika merujuk data 1995, eksekutif Freeport menyebut, di areal ini tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dolar AS. Hingga 45 tahun ke depan penambangan di Grasberg masih sangat menguntungkan. Dalam buku Grasberg menyebutkan, biaya produksi tambang emas dan tembaga di Indonesia (Grasberg) yang termurah di dunia.Saham terbesar dalam perusahaan Freeport McMoran &Gold Inc yang berkedudukan di New Orleans, USA. Perusahaan ini menguasai 85,4 % dari seluruh saham PT FI. Pemerintah Indonesia melalui kontrak karya PT FI memperoleh 10 % saham, dan sisanya dikuasai oleh sebuah perusahaan Jerman sebanyak 4 % saham dan pemegang saham Indonesia lainnya menguasai 0,6 %. Selanjutnya 1991, ketika PT FI memperpanjang kontrak karya untuk masa 30 tahun lagi, komposisi kepemilikan sahamnya berubah. PT freeport Mc Moran menguasai lebih dari 80 % yaitu 81, 28 %. Pemerintah Republik Indonesia
menguasai 9,36 % lalu PT Indocopper Investama menguasai 9,36 % sisanya. Di dalam saham PT Indocopper Investama, Bakrie Brothers Group memiliki 49 % saham dan Freeport Indonesia memiliki 49 % lainnya, selebihnya (2%) dikuasai investor lain.
Pada 1995, Freeport Mc MoRan Inc, pemilik saham Freeport McMoRan Copper &Gold melepas 18 % sahamnya kepada RTZ Corporation PLc, sebuah perusahaan pertambangan terbesar di dunia yang berkantor di Inggris.

Ketika PT FI baru berinvestasi 1967, modalnya sebesar US$75 juta dengan luas areal Kontrak Karya seluas 100.000 hektar. Kini modal PT Freeport sudah membengkak menjadi US$ 3 milyar dengan luas areal konsesi yang sudah berlipat 260 kali menjadi 2,6 juta hektar berdasarkan KK yang ditandatangani 1991.

Melihat kondisi investasi tambang di Indonesia, Fadjroel Rachman yang juga Direktur Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara mengatakan seharusnya Presiden SBY tidak takut untuk membicarakan renegoisasi kontrak Freeport yang sudah merugikan negara dalam pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. " Harus ada renegosiasi terkait persoalan Migas dan PT. Freeport , terlebih pemerintah hanya menguasai  9,23% sementara Freeport sendiri menguasi  90,77% dari penguasaan saham di PT. Freeport. Bahkan Fadjroel Rachman justru berpendapat kedatangan Obama ke Indonesia merupakan bentuk pengamananan investasi Amerika di Indonesia.
Belum lagi penguasaan  Minyak dan Gas (Migas) sebesar 60% oleh Chevron yang merupakan salah satu perusahaan  Amerika," tambah Fadjroel.

Lebih lanjut Fadjroel juga mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia bisa melakukan renegosiasi terlebih Indonesia mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. 

(Dominggus A Mampioper dari berbagai sumber: ngutip tabloid jubi )

No comments:

Post a Comment