DENPASAR - Polisi
terus menelusuri kasus pembunuhan sadis terhadap Angeline, bocah 8
tahun asal Sanur, Bali. Sejumlah saksi diperiksa intensif, termasuk ibu
angkat korban, Margareith Megawe.
Berdasarkan hasil tes
kejiwaan, Margareith diketahui memiliki ciri-ciri psikopat. Psikiater
Lely Setyawati yang melakukan tes psikologis atas permintaan Polresta
Denpasar menyatakan bahwa kebiasaan ibu angkat Angeline marahmarah,
keras, bahkan mengusir orangorang yang datang ke rumahnya memperkuat
gejala tersebut.
Dia menjelaskan, pemeriksaan kejiwaan pada Rabu
(10/6) mengindikasikan bahwa Margareith sosok wanita maskulin yang
dominan, penuh amarah, agresif, sadisme, paranoid, dan over-agrresion.
”Semua sangat sesuai untuk profil seorang psikopat. Berkasberkas itu
sudah diserahkan kepada pihak Polresta Denpasar,” ujarnya di Denpasar,
Bali, kemarin.
Dia melanjutkan, meski pada pemeriksaan itu
Margareith sering memberikan keterangan yang berubah-ubah, Lely tak mau
menyebutkan gamblang bahwa yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa.
”Maka dari itu perlu dievaluasi dan ada tes psikologis lagi. Baru kita
bisa menetapkan apakah dia sakit atau bagaimana,” katanya.
Merespons
laporan tes psikologis itu, Kapolresta Denpasar Kombes Pol Anak Agung
Made Sudana menegaskan bahwa sejauh ini belum ditemukan adanya bukti
keterlibatan Margareith dalam kasus pembunuhan Angeline. ”Tidak ada.
Tidak terlibat,” tegas Sudana di Markas Polresta Denpasar, Bali,
kemarin. Menurutnya, polisi telah memeriksa orang-orang yang dicurigai.
Hanya sejauh ini memang baru satu orang yang ditetapkan sebagai
tersangka, yaitu Agustinus Tai Andamai, pembantu rumah tangga.
”Sekarang
kalau saya (tetapkan) sebagai tersangka, siapa (juga) korbannya? Kan
akibat matinya Angeline tidak ada andil Margareith. Sidik jari juga
tidak ada. Komando juga tidak ada,” kata Sudana. Angeline ditemukan
tewas dengan luka di sekujur tubuh, Rabu (10/6), setelah dilaporkan
hilang pada 16 Mei 2015. Jasad siswa kelas 2 SDN 12 Kesiman, Sanur, itu
dikubur di pekarangan rumah Margareith, Jalan Sedap Malam, Denpasar,
tepatnya di bawah kandang ayam.
Angeline dihabisi dengan cara
sadis. Kepalanya mengalami perdarahan dalam akibat benturan keras ke
lantai. Sejumlah luka terdapat di tubuhnya. Anak adopsi di keluarga itu
juga diduga mengalami kekerasan seksual sebelum dibunuh. Kesimpulan
polisi tentang tidak adanya keterlibatan Margareith dianggap
terburu-buru. Aktivis perlindungan perempuan dan anak di Bali, Siti
Supura, sebelumnya menyatakan tersangka Agus pernah mengaku bahwa dia
mengubur Angeline atas perintah Margareith.
Kapolda Bali Irjen
Pol Ronny F Sompie meminta publik tak meragukan penyidikan. Polisi terus
menggali informasi dan mencari bukti-bukti untuk mengungkap siapa saja
yang bertanggung jawab dalam peristiwa pembunuhan sadis ini. ”Kami masih
mengkaji apakah ada hal lain yang bisa kami jadikan alasan untuk kita
meminta pertanggungjawaban,” kata Ronny dalam keterangan persnya di
Mapolresta Denpasar.
Disinggung mengenai sikap keluarga
Margareith yang menutup diri bahkan cenderung tak kooperatif terhadap
polisi, termasuk kepada dua menteri yang mendatangi rumahnya, Ronny
menyatakan bahwa hal itu memberikan indikasi atau kecurigaan tertentu.
Namun, tegas Ronny, polisi tidak bisa menjerat tersangka hanya
berdasarkan kecurigaan, melainkan dengan bukti permulaan yang cukup.
”Pemeriksaan
dalam rangkaian penyidikan baru berumur satu hari lebih sehingga kalau
kami melihat penyidik belum bisa menyimpulkan adanya tersangkalain, itu
bagian yangt erus kami perjuangkan untuk proses penyidikan,” ujar mantan
Kadiv Humas Mabes Polri itu. Dia memastikan bahwa Margareith, 2 kakak
angkat Angeline, 2 penghuni kos, dan petugas satpam setempat masih
diperiksa polisi. ”Penyidik memang sempat membolehkan ibu dan kakak
angkat korban pulang ke rumah setelah pemeriksaan hingga dini hari,
tetapi hari ini (kemarin) dipanggil lagi dan saat ini masih diperiksa,”
tegas Ronny.
Rekonstruksi
Untuk
membongkar kasus pembunuhan Angeline, aparat Polresta Denpasar kemarin
menggelar prarekonstruksi dengan mendatangkan tersangka Agus ke lokasi
pembunuhan sekitar pukul 10.30 Wita. Kedatangan Agus memancing amarah
warga. Ratusan orang yang geram dengan pembunuhan sadis itu dan mencoba
merangsek ke arah polisi. Namun upaya itu tak berhasil karena Agus
dikawal ketat petugas.
Warga yang emosi pun melontarkan caci
maki kepada pria asal Sumba, Nusa Tenggara Timur itu. Agus lantas
digelandang memasuki rumah melalui pintu samping dan langsung melakukan
adegan prarekonstruksi. ”Prarekonstruksi itu untuk membuat lebih terang
apa yang dilakukan oleh Agus sampai terjadi seperi sekarang ini,” ujar
Agung Sudana. Keseluruhan terdapat 18 adegan yang diperankan Agus selama
1,5 jam.
Dalam prarekonstruksi ini diketahui Agus menghabisi
nyawa bocah itu pada adegan ketujuh hingga kesembilan. Sementara itu tim
Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar,
mengaku kesulitan untuk mengungkap dugaan tindakan kekerasan seksual
pada Angeline berkaitan dengan kondisi jenazah.
”Ada dua hal
yang menyulitkan pihak forensik, yaitu kondisi fisik jenazah sudah
membusuk dan waktu terjadinya kekerasan,” kata Kepala SMF Kedokteran
Forensik RSUP Sanglah Ida Bagus Putu Alit. Menurut dia, untuk mendalami
kasus kekerasan seksual dibutuhkan uji laboratorium terhadap sampel
korban. Sampel itu telah diambil dan sedang diperiksa.
Kepala
Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Dudut Rustyadi mengakui
pemeriksaan sampel tidak dapat dilakukan karena jenazah sudah lebih dari
tujuh hari. ”Karena kondisinya sudah membusuk agak sulit untuk
diidentifikasi,” ujarnya. Duka atas kematian Angeline merebak ke seluruh
penjuru negeri. Sebagai bentuk keprihatinan dan simpati digelar gerakan
Seribu Lilin untuk Anak IndonesiadiBundaranHI, Jakarta, tadi malam.
Sejumlah
tokoh hadir dalam acara itu, antara lain anggota Komisi VIII DPR Mamam
Imanulhaq. Menurut dia, pembunuhan pada Angeline adalah aksi biadab yang
harus dihukum seberat-beratnya. ”Seandainya Angeline adalah anak kita,
orang terdekat kita, tentu penyiksaan yang dilakukan orang biadab
tersebut menyakitkan kita,” kata Maman.
Dia juga mengajak
seluruh peserta aksi untuk berdoa bersama untuk Angeline dan anakanak
Indonesia. Di Solo, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku sangat bersedih
atas kematian Angeline. Wapres berharap polisi dapat mengungkap tuntas
kasus tersebut. Adapun pelaku dapat dihukum setimpal.
Sistem Adopsi
Anggota
Satuan Tugas Perlindungan Anak Dewi Motik mendorong kasus pembunuhan
Angeline dijadikan momentum untuk mengangkat isu perlindungan anak agar
mendapat perhatikan serius dari pemerintah. Dewi mengaku miris melihat
fenomena adopsi di Indonesia. Menurut dia, banyak keluarga atau orang
tua kandung yang justru bangga ketika anaknya diadopsi oleh keluarga
lain dengan harapan anaknya bisa hidup lebih bahagia.” B
oro-boro
bahagia dan dapat warisan, yang terjadi justru kekerasan yang berujung
kematian,” katanya. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist
Merdeka Sirait mengatakan, kekerasan terhadap anak bisa terjadi karena
beberapa faktor seperti keberadaan anak tidak dikehendaki. Perilaku
orang dewasa yang menganggap bisa menguasai anak dan memandang bahwa
anak adalah miliknya juga bisa menjadi penyebab.
Menurut dia
kekerasan bisa mencakup fisik, psikis, dan penelantaran. Untuk kekerasan
fisik antara lain berupa pemukulan yang melukai tubuh hingga kekerasan
seksual. Adapun kekerasan psikis mulai dari cemoohan hingga perlakuan
diskriminatif. Sementara penelantaran adalah kondisi di mana seorang
anak tidak diurus oleh orang tuanya. Arist mengatakan, dari 2010 sampai
2014 tercatat ada 21.689.797 kasus kekerasan menimpa anak-anak. Sebanyak
58% dari kasus itu merupakan kejahatan seksual.
Miftachul chusna/ ridwansyah /khoirul muzakki/sindonews/ant
(bbg)
kasian banget, nasibnya tragis... padahal masih anak-anak,
ReplyDeletehttp://obattraditional.com/obat-tradisional-benjolan-di-telinga/