Sang Kyai hari ini resmi dirilis serentak di bioskop-bioskop utama di
Tanah Air. Film karya sutradara Rako Prijanto mendapat sambutan
istimewa dari masyarakat, terutama kalangan Nahdliyin, yang ingin
melihat dan mengenang kembali kisah hidup dan perjuangan tokohnya
tersebut, yakni Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Sambutan ini
diwujudkan dengan melakukan nonton bareng (nobar). Film yang dibintangi
artis kawakan Ikranegara, Christine Hakim, dan Agus Kuncoro tersebut
mengisahkan bagaimana pendiri Ponpes Tebu Ireng, Cukir, Jombang
sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu berjuang bukan hanya untuk
agama, melainkan juga bangsa Indonesia yang saat itu masih jabang bayi.
Pada 1942–1950, yakni era perjuangan merebut dan mempertahankan
kemerdekaan, peran kakek mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
tersebut begitu sentral, terutama di kalangan santri.
Bagi
kalangan Nahdliyin, film Sang Kyai begitu emosional bukan karena
mengisahkan tentang ketokohan pendiri organisasinya atau perannya
mengembangkan pondok pesantren yang menjadi sentral pengembangan gerakan
keagamaan. Lebih dari itu, film tersebut secara langsung sebagai bentuk
pengakuan sekaligus apresiasi terhadap peran KH Hasyim Asy’ari, NU, dan
santri dalam perjuangan kemerdekaan.
Generasi saat ini tidak
banyak yang mengetahui peran sang kiai yang saat itu juga menjadi
pemimpin tertinggi Masyumi di belakang laskar Hisbullah dan Sabilillah
yang kala itu menjadi “biang” berbagai pertempuran sengit melawan
penjajah di berbagai daerah di Jawa seperti Bekasi dan Ambarawa. Puncak
ketokohannya adalah keluarnya “Resolusi Jihad”. Dalam fatwanya tersebut,
KH Hasyim Asy’ari mengajak para santri berjihad fisabilillah melawan
sekutu yang akan menduduki Kota Surabaya hingga pecah perang besar yang
kelak melahirkan Hari Pahlawan 10 November 1945.
Jihad tersebut
mengobarkan semangat “hidoep atau mati” untuk mengusir penjajah yang
ingin kembali menguasai negeri ini. Kisah tersebut tidak diketahui
karena selama orde baru ada upaya sistematis untuk melemahkan, bahkan
mengeliminasi peran kesejarahan para kiai, santri, dan NU. Tak banyak
yang tahu pula bahwa peran KH Hasyim Asy’ari bukan hanya mengobarkan
elan perjuangan bersenjata, melainkan juga meletakkan landasan filosofi
yang kukuh bagi berdirinya negara ini. Fatwa bahwa membela negara adalah
membela agama.
Pendapat tersebut menjadi perekat yang kuat
hubungan keislaman dan keindonesiaan. Belakangan hal tersebut menjadi
fondasi lahirnya keputusan tentang Negara Indonesia adalah final dan
penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Sejatinya, keberadaan Sang
Kyai bukan hanya penting bagi kalangan Nahdliyin. Bagi bangsa ini,
terutama generasi, film seperti itu sangat dibutuhkan di tengah
keringnya keteladanan dari para pemimpin saat ini.
Melalui Sang
Kyai dan film bergenre sejarah, biografi tokoh, dan edukasi lain seperti
Sang Pencerah, Ainun dan Habibie, Seogija, Laskar Pelangi, Lima Menara,
9 Summers 10 Autumns, para generasi saat ini bisa mendapat motivasi dan
pelajaran berharga tentang perjuangan, kepemimpinan, kecintaan terhadap
bangsa, semangat berprestasi, dan karakter positif lainnya. Tentu film
berkualitas tersebut tidak ada artinya tanpa ada dukungan dari
masyarakat luas.
Kehadiran masyarakat di bioskop untuk
menyaksikan film-film seperti itu adalah bahan bakar bagi para pekerja
film untuk menghadirkan karya bermutu dan layak tayang. Peran pemerintah
tentu juga sangat dibutuhkan. Program Kementerian Pendidikan Nasional
untuk menggelar nobar film-film seperti itu harus diteruskan karena bisa
menjadi alternatif pendidikan karakter bagi anak didik
Koran SINDO
(hyk)
No comments:
Post a Comment